RI Masuk 10 Negara Paling Rentan Tapering Off AS, Ekonom Beda Analisa
Indonesia termasuk 10 negara paling rentan terkena dampak tapering off atau pengurangan pembelian aset oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed. Meski begitu, ekonom menilai bahwa kondisi Nusantara masih lebih baik.
Daftar negara yang paling rentan terkena dampak tapering off itu dirilis oleh perusahaan layanan keuangan asal Jepang, Nomura Group pada akhir Agustus. Nomura membuat riset serupa saat taper tantrum delapan tahun lalu.
Saat itu, Indonesia juga masuk daftar lima negara yang pasarnya tengah berkembang alias emerging market paling rentan terkena dampak.
Tahun ini, Nomura kembali membuat laporan terkait negara yang paling rentan terkena dampak tapering off. Selain Indonesia, Filipina, Afrika Selatan, Brasil, Turki, Rumania, Hungaria, Peru, Cili, dan Kolumbia masuk daftar ini.
Meski begitu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan taper tantrum sewindu lalu. Pada 2013, Nusantara rentan karena menghadapi gejolak yang signifikan.
"Risiko tapering off kali ini ada, tapi harus dilihat risikonya seberapa besar. Menurut saya, mungkin relatif lebih moderat dibandingkan 2013," kata David kepada Katadata.co.id, Senin (6/9).
Setidaknya karena empat faktor, yaitu:
1. Posisi cadangan devisa Indonesia masih cukup tebal
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa US$ 137,3 miliar per akhir Juli. Nilainya jauh di atas rata-rata pada 2013 di kisaran US$ 90 miliar - US$ 100 miliar.
2. Peluang intervensi modal asing dalam stabilitas nilai tukar rupiah semakin sempit
Salah satunya, terlihat dari porsi investor asing dalam obligasi pemerintah turun dalam dua tahun terakhir. "Sekarang sekitar 22%. Ini kemungkinan core investor yang memang berinvestasi jangka menengah panjang,” kata dia.
“Jadi hedge fund itu sudah keluar dan belum banyak yang masuk lagi akhir-akhir ini," kata David.
3. Kepemilikan utang denominasi dolar AS melambat kenaikannya
Jumlah utang denominasi dolar AS naik 1,2% secara tahunan (year on year/yoy) dari US$ 98 miliar pada Juli 2020 menjadi US$ 99,2 miliar per Juli 2021. Sedangkan utang denominasi rupiah tumbuh 10,2% dari Rp 4.037,6 triliun menjadi Rp 4.450,3 triliun.
4. Rasio defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) membaik
Pada periode taper tantrum 2013 lalu, rasio CAD terhadap PDB rata-rata di kisaran 3%. Sedangkan pada kuartal kedua tahun ini, defisit turun 0,8%.
Dengan data-data itu, David menilai bahwa kondisi Indonesia jauh berbeda dibanding Filipina. Sumber utama devisa negara tetangga itu, yakni sektor remitansi yang ditopang oleh tenaga kerja di luar negeri.
Namun, angka pengangguran melonjak di beberapa negara akibat pandemi corona. Oleh karena itu, potensi cadangan devisanya semakin tipis.
"Mereka tidak punya komoditas seperti kita. Komoditas Indonesia relatif baik dari sisi permintaan, dan harganya tinggi," kata David.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai, riset Nomura tersebut belum melihat kondisi objektif Indonesia. Alasannya ada dua yakni:
1. Rasio utang pemerintah terhadap PDB 40,5%
Itu merupakan data per Juli yang dilaporkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kendati terus naik, nilainya di bawah rasio utang India 86,6%.
"Kalau kami melihat, yang sudah diturunkan peringkatnya itu India. Tapi justru tidak masuk dalam daftar sepuluh negara rentan. Jadi, saya cukup yakin assesment Nomura group ini tidak beralasan," kata Josua kepada Katadata.co.id.
2. Kesiapan BI merespons risiko tapering off
BI menyiapkan strategi triple intervention. Selain itu, ada kerja sama local currency settlement (LCS) yang terus diperluas guna mengurangi pengaruh dolar AS terhadap nilai tukar rupiah.
Yang terbaru, bekerja sama dengan Tiongkok. “Jadi tidak perlu lagi konversi ke dolar AS. Ini akan sangat mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS," kata Josua.
Alasan Indonesia Rentan Tapering Off
Sedangkan Nomura menyatakan tidak setuju dengan mereka yang percaya bahwa negara emerging market berada dalam posisi yang lebih tangguh dibandingkan menjelang taper tantrum 2013.
“Emerging market mengembangkan sumber kerentanan baru, dengan kombinasi pertumbuhan yang sangat lemah, inflasi meningkat, dan penurunan yang mencolok dalam keuangan fiskal,” demikian isi laporan, dikutip dari Bloomberg, akhir Agustus (27/8). “Namun, tingkat kebijakan riil tetap sangat negatif di banyak negara emerging market.”
Riset tersebut mengungkapkan tiga faktor utama yang membuat negara emerging market paling rentan terhadap risiko tapering off. Ketiganya yakni:
1. Kondisi utang pemerintah membengkak seiring peningkatan belanja penanganan Covid-19
Beberapa negara seperti Brasil memiliki rasio utang di atas 90%. Indonesia juga meningkat, namun rasionya terhadap PDB masih lebih rendah yakni 40,51%.
2. Menarik investasi asing lebih sedikit ke pasar domestik akibat Covid-19
Namun tidak berarti 10 negara tersebut kurang rentan terhadap risiko kaburnya modal asing dalam jumlah besar. Diukur dari liabilitas portofolio dibandingkan dengan arus masuk portofolio kumulatif, banyak negara emerging market cenderung lebih rentan sekarang ketimbang taper tantrum 2013.
3. Risiko pelebaran defisit transaksi berjalan
Ini seiring defisit fiskal yang membesar. Nomura menyoroti beberapa negara yang berpotensi menghadapi pelebaran CAD di antaranya Kolombia, Peru, Rumania, Turki dan Afrika Selatan.