Ekonom Sarankan Pemerintah Tunda Kenaikan PPN Jadi 11% hingga 2023

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.
Penjual melayani pembeli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/12/2021).
Penulis: Abdul Azis Said
9/3/2022, 17.53 WIB

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dijadwalkan berlaku awal bulan depan, sebagaimana diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan perpajakan (UU HPP). Ekonom meminta pemerintah menunda kenaikan ini.

Direktur Center for Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, kenaikan tarif PPN menjadi 11% tidak menjadi masalah apabila diberlakukan saat konsumsi masyarakat solid.

Menurutnya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk memberlakukan kenaikan tarif. "Menunggu dulu kondisi makro ekonomi lebih stabil, khususnya inflasi harus dijaga di bawah 3%," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (9/3).

Dia mengatakan, inflasi berisiko meningkat signifikan bulan depan. Ini dipengaruhi beberapa faktor:

  • Momentum musiman ramadan dan menyambut lebaran.
  • Tensi perang Rusia dan Ukraina yang mengerek kenaikan harga komoditas global.
  • Mobilitas masyarakat berangsur normal sehingga ada potensi peningkatan dari sisi permintaan.
  • Kenaikan harga di tingkat produsen dinilai belum sepenuhnya diteruskan kepada konsumen. Indeks Harga Produsen (IHP) sudah naik sejak paruh kedua tahun lalu, sehingga tinggal menunggu waktu untuk kenaikan harga di tingkat konsumen.

Selain itu, menurutnya kenaikan tarif PPN belum mendesak. Sebab, pemerintah dinilai masih bisa memperoleh tambahan penerimaan di dalam APBN sekalipun tarif batal naik.

Hilangnya potensi penerimaan akibat pembatalan kenaikan tarif PPN bisa dikompensasi dengan adanya peluang tambahan penerimaan berkat lonjakan harga komoditas.

Ia menghitung, jika harga minyak terus naik dan ICP melampaui US$ 127 per barel, maka ada potensi tambahan penerimaan pajak dan PNBP hingga Rp 192 triliun.

Oleh karena itu, menurutnya kenaikan PPN sebaiknya ditunda hingga April tahun depan.

Namun Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual menilai, wacana penundaan kenaikan PPN merupakan pertimbangan dilematis. Rencana ini sudah diatur dalam UU. Di sisi lain, penundaan kenaikan tarif bisa membantu pemulihan ekonomi.

Belum lagi, perekonomian domestik tengah menghadapi risiko kenaikan inflasi cukup tinggi dalam beberapa bulan ke depan.

"Kita (Indonesia) kan masih dalam tahap menuju pemulihan. Jadi memang perlu ada ruang agar pemulihan betul-betul berjalan lancar. Jangan sampai ada faktor-faktor yang mengganggu confident," kata David kepada Katadata.co.id

Dia mengatakan, inflasi kemungkinan meningkat mulai bulan ini hingga setidaknya Mei. Ketegangan di Rusia mengerek harga energi, pangan, dan lainnya.

Dari dalam negeri, peningkatan mobilitas mendorong volume permintaan.

"Skenario terburuknya, inflasi bisa saja lebih tinggi dari batas atas Bank Indonesia (BI) 4%. Kemungkinan terbaiknya kita melihat inflasi di 3,7% atau masih di bawah batas atas," kata dia.

Selain itu, penundaan kenaikan tarif menurutnya bisa jadi kesempatan bagi pemerintah untuk mengkaji lebih dalam terkait ketentuan pelaksanaan dari tarif baru PPN ini.

Menanggapi usulan itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan, belum ada keputusan soal rencana penundaan kenaikan PPN.

Selain itu, aturan turunan terkait PPN masih dalam proses penyusunan.

"Belum ada informasi terkait hal itu (penundaan kenaikan tarif PPN), sesuai amanat UU kenaikan tarif PPN akan berlaku 1 April 2022," kata Neil kepada Katadata.co.id.

Sedangkan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu sebelumnya meyakinkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 11% akan memiliki dampak minimal terhadap kenaikan inflasi.

Ia menilai, yang perlu dipantau saat ini yakni kenaikan harga pangan dunia.

"Dalam konteks disebutkan oleh wakil menteri keuangan sebelumnya bahwa apakah akan dilakukan penyesuaian atau tidak, itu semua dalam konteks kita melihat arah dari pemulihan perekonomian dan memastikan timingnya tepat," kata Febrio dalam Konferensi Pers APBN KiTA, akhir bulan lalu (22/2).

Reporter: Abdul Azis Said