Kenaikan Tarif PPN 12% akan Picu Lonjakan Inflasi di 2025

Arief Kamaludin | Katadata
Gedung Dirjen Pajak
14/3/2024, 05.46 WIB

Pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. Namun kenaikan pajak tersebut dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi karena harga barang dan jasa di pasaran ikut naik.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, kenaikan PPN sebesar 1% dari 11% menjadi 12% pada 2025 akan mengerek inflasi sebesar 0,6% - 0,8%. Padahal, Bank Indonesia menargetkan inflasi pada rentang target 1,5% - 3,5% di 2025.

"Oleh karena itu, jika inflasi tidak ingin keluar dari target, pemerintah perlu menurunkan inflasi pangan dan dapat menahan inflasi harga terkait dengan energi," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (13/3).

Jika tidak diantisipasi pemerintah, kata Josua, kenaikkan PPN tersebut berpotensi mengerek inflasi inti yang merupakan komponen inflasi dengan bobot terbesar pada Indeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun dasar 2022=100.

Tak berbeda, Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar juga memperkirakan kenaikan tarif PPN akan mengerek harga barang yang dijual di pasaran. "Tentu bukan satu sampai dua barang, tapi seluruh barang atau jasa yang kena PPN. Dari sini PPN mengerek inflasi," kata Fajry.

Namun tidak semua barang atau jasa kena PPN. Misalnya saja, barang - barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN 12% seperti beras, jagung, daging, telur, buah-buahan dan lainnya.

Nailul mencontohkan, ketika masyarakat membeli beras, tidak akan kena PPN karena komoditas ini mendapat fasilitas PPN. Begitupula ketika masyarakat membeli gula dari pedagang asongan atau warung Madura.

"Tidak ada PPN yang dikenakan karena yang menjadi pemungut PPN jika penjual mempunyai omzet lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun," ujarnya.

Untuk itu, dampak kenaikan tarif PPN sebesar 1% tidak berdampak besar dalam mengerek inflasi. Berdasarkan hasil kalkulasi, kenaikan PPN ini hanya berkontribusi 0,4% terhadap inflasi nasional.

"Mengapa? mengingat banyaknya objek yang masih mendapatkan PPN. Begitpula dengan pedagangnya, hanya pedagang besar dengan omzet lebih dari Rp 4,8 miliar yang kena PPN," ujarnya.

Kenaikan PPN Dinilai Tidak Tepat

Direktur Ekonomi Digital dan ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda justru menilai kenaikan PPN 12% bukan sesuatu yang tepat. Sebab, tren suku bunga kredit masih tinggi dan inflasi belum berada di level 2%.

"Jika ada kenaikan tarif PPN, hampir semua barang akan terjadi kenaikan harga. Akan semakin susah menurunkan kemiskinan, apalagi kemiskinan ekstrem," ujarnya.

Saat ini PPN merupakan sumber utama penerimaan pajak negara. Menurut Nailul, porsinya paling tinggi dibandingkan dengan penerimaan pajak nasional. PPN sama dengan PPh Karyawan yang merupakan pajak yang sudah tersistem, di mana pemerintah tidak perlu usah keras untuk menarik pajak kepada masyarakat.

Artinya, PPN merupakan instrumen paling mudah untuk menaikkan penerimaan pajak guna mendorong program pemerintah ataupun meningkatkan rasio pajak. Peraturan kenaikan PPN juga sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam pasal pasal 7 dijelaskan bahwa tarif PPN sebesar 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Kemudian PPN 12% mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Namun pada pasal 3 menyebutkan bahwa penerapan tarif PPN bisa berada pada rentang 5%-15%.

"Jadi bisa saja tarif PPN tetap 11% jika memang pemerintah berpihak ke masyarakat. Tapi Menko Perekonomian Airlangga Hartanto bilang, kalau ini keberlanjutan [PPN]. Artinya PPN naik menjadi 12%," ujar Nailul.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari