Pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan akan memberi efek domino terhadap ekonomi dan industri dalam negeri. Bahkan, efek pelemahan rupiah bisa memperlebar defisit APBN, inflasi tinggi hingga memicu PHK massal.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, pelemahan nilai tukar rupiah bisa menekan industri nasional jika bahan baku mereka dari luar negeri.
"Sehingga kebutuhan nilai impor industri meningkat dan memengaruhi biaya produksi industri tersebut. Mau tidak mau, harga produk final akan naik," kata Esther kepada Katadata.co.id, Kamis (20/6).
Dengan kondisi itu, daya saing produk Indonesia turun karena harga produk menjadi lebih mahal dibandingkan negara lain. Akibatnya, omzet industri ikut tergerus dan berpotensi adanya PHK karyawan dengan alasan efisiensi.
Biaya Produksi Makin Mahal
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual juga melihat efek pelemahan rupiah dapat menekan industri nasional, terutama industri yang bergantung pada bahan baku impor. "Seperti industri makanan minuman, farmasi, tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik dan otomotif," kata David.
Jika kondisi ini terus berlanjut, makan dikhawatirkan biaya produksi naik karena harga bahan baku menjadi lebih mahal. Ditambah lagi, daya beli masyarakat melemah. Namun pelaku usaha tidak sembarangan menaikkan harga jual.
Menurut David, pelaku usaha cenderung melakukan efisiensi untuk menekan biaya operasional. Hal ini untuk memitigasi kerugian jangka panjang dan meningkatkan potensi pemangkasan biaya dengan PHK.
Risiko Defisit APBN
Esther menyoroti dampak pelemahan rupiah terhadap defisit APBN. Karena pemerintah harus membayar cicilan dan bunga utang, terutama dengan nilai dolar AS yang cenderung naik. "Sehingga ruang fiskal menjadi lebih kecil," kata Esther.
Sedangkan menurut David, pelemahan rupiah pada rentang Rp 16.000- Rp 16.300 per dolar AS dapat menambah defisit APBN sebesar Rp 62 triliun - Rp 81 trilin atau sekitar 0,27%-0,35% dari PDB.
Tekanan depresiasi rupiah secara berkepanjangan dapat memaksa pemerintah untuk menyesuaikan target belanja, terutama pada pos yang sensitif terhadap risiko nilai tukar seperti subsidi energi dan intervensi terhadap supply pangan.
"Sehingga terdapat peningkatan belanja negara seperti pembayaran bunga utang yang lebih tinggi, biaya subsidi dan kompensasi energi yang membengkak," ujarnya.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda bahkan melihat potensi defisit APBN bisa mendekati 3% jika rupiah tak kunjung membaik. Dan ini dianggap cukup berbahaya terhadap kondisi fiskal.
"Terlebih, beberapa kementerian sudah meminta tambahan anggaran di pagu indikatif, yang artinya akan semakin tinggi beban APBN kita," ujarnya.
Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah mematok rupiah pada angka Rp 15.300 hingga Rp16.000 per dolar AS. Namun saat ini, rupiah sudah sekitar Rp 16.400 an per dolar AS.
Yang artinya, asumsi rupiah tersebut sudah pasti akan berubah atau akan diambil berdasarkan asumsi paling tinggi yaitu Rp 16.000 per dolar AS. "Maka defisit APBN akan berada di angka paling tinggi yaitu 2,82% dari PDB," kata Nailul.