Mengenal Tax Amnesty, Program Pengampunan Bagi Pengemplang Pajak di Indonesia

123rf.com/inimal Graphic
Ilustrasi tax amnesty
21/11/2024, 07.08 WIB

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mempertimbangkan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III. Rencana itu terungkap dari hasil rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas yang digelar Baleg DPR, pada Senin (18/11).

Berdasakan hasil rapat tersebut, program pengampunan pajak ini ternyata masuk daftar draft usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025. Jika ini terealisasi, maka ini akan menjadi amnesti pajak jilid III.

Sebelumnya, pemerintah telah menggelar program serupa. Namun program tax amnesty di Indonesia hanya mampu meningkatkan data basis wajib pajak dan memberikan penerimaan tambahan, tetapi tidak sepenuhnya memenuhi target, terutama dalam penarikan dana warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri (repatriasi).

Bahkan, banyak pihak menyoroti program tax amnesty sebagai kebijakan tak adil dan hanya menguntungkan pengemplang pajak. Sebab, pemerintah belum bisa memastikan kepatuhan wajib pajak baik dari sisi eksekusi, transparansi hingga penegakan hukum.

Pengertian Tax Amnesty

Tax Amnesty atau pengampunan pajak adalah kebijakan atau program yang dikeluarkan pemerintah dengan memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau membayar pajak yang belum dibayar atau dilaporkan sebelumnya.

Melalui kebijakan ini, wajib pajak bisa mendapatkan keringanan denda atau sanksi. Program ini bisanya mencakup pengampunan terhadap pajak terutang yang belum dibayar, termasuk pajak yang tersembunyi atau tak tercatat.

Adapun tujuan program tax amnesty untuk meningkatkan kepatuhan pajak, mengurangi ketidakpatuhan, dan menarik lebih banyak pajak yang seharusnya diterima oleh negara.

Selain itu, tujuan tax amnesty juga dapat membantu memperbaiki basis data perpajakan dan mendukung sistem pajak nasional. Biasanya, program ini bersifat sementara dan memiliki batas waktu tertentu.

Apakah Bertentangan dengan Prinsip Pajak?

Kebijakan amnesti pajak sering menjadi perdebatan karena dianggap bertentangan dengan beberapa prinsip pajak, terutama:

1. Prinsip Keadilan: wajib pajak yang patuh merasa kebijakan ini tidak adil, karena memberikan keuntungan kepada mereka yang sebelumnya menghindari pajak. Sehingga memberi kesan bahwa pelanggar pajak lebih diuntungkan dibandingkan wajib pajak yang patuh.

2. Prinsip Kepastian Hukum: pengampunan pajak dapat menciptakan preseden buruk bahwa pelanggaran pajak dapat diabaikan selama ada pengampunan di masa depan.

3. Prinsip Kepatuhan: kebijakan ini bisa melemahkan kepatuhan di masa depan, karena wajib pajak cenderung menunda pembayaran pajak dengan harapan akan ada amnesti berikutnya.

4. Prinsip Efisiensi: amnesti pajak dapat menganggu administrasi perpanjakan jangka panjang karena merusak persepsi publik terhadap efektivitas dan konsistensi sistensi sistem perpajakan.

Namun, pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa tax amnesty adalah solusi pragmatis untuk meningkatkan penerimaan negara secara cepat, terutama saat penerimaan pajak sedang rendah.

Kebijakan ini bisa dibenarkan jika diterapkan secara hati-hati dalam jangka pendek dan bertujuan untuk memperbaiki basis data. Amesti ini bisa menjadi alat mereformasi sistem pajak jika dikombinasikan dengan perubahan besar dalam sistem perpajakan. 

Sejarah Singkat Tax Amnesty:

1. Tax Amnesty 1964

Tax amnesty pertama kali dilaksanakan pada tahun 1964, yakni pada masa Presiden Soekarno. Tujuan program ini untuk mengembalikan dana revolusi melalui perangkat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres).

Namun jumlah yang didapat sama dengan penerimaan Sumbangan Wajib Pajak Istimewa (SWI) Dwikora. Bahkan, dalam pelaksanaanya dinilai gagal karena penegakan hukum pada masa itu masih lemah.

2. Tax Amnesty 1984

Tak amnesty kedua digelar pada awal Orde Baru, bersamaan dengan reformasi perpajakan di Indonesia. Saat itu, pemerintah Soerharto menerapkan sistem Self Assesment dalam pelaporan pajak, menggantikan Official Assesment System.

Official Assessment System adalah sistem pungutan, di mana besaran pungutan ditentukan pemerintah. Sedangkan Self Assessment System ditentukan oleh wajib pajak itu sendiri.

Namun program ini kurang efektif karena kurangnya sosialisasi dan kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintahan. Ditambah lagi, sistem dan data perpajakan saat itu masih minim.

3. Tax Amnesty 2008

Tax amnesty pada 2008 bertujuan untuk mengatasi ketidakpatuhan pajak dan mendorong repatriasi aset yang berada di luar negeri. Saat itu, diberlakukan dalam bentuk sunset policy, berupa penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang memperbaiki Surat Pemberitahuan (SPT).

Program ini lebih diterima masyarakat karena pendekatannya bersifat insentif dan tidak mengancam wajib pajak. Namun, dampaknya terhadap penerimaan pajak secara jangka panjang tetap terbatas.

4. Tax Amnesty 2016-2017

Program ini kembali diperkenalkan pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tujuannya untuk meningkatkan penerimaan pajak, repatriasi dan meningkatkan basis data perpajakan.

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan mencapai Rp 130 triliun hingga 1 April 2027. Kemudian deklarasi aset sebesar Rp 4.813,4 triliun baik dari dalam negeri dan luar negeri.

Dana repatriasi yang masuk hanya Rp 146 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Namun keberhasilannya lebih terlihat pada meningkatnya data kepatuhan wajib pajak, tetapi tidak sesuai target repatriasi.

5. Tax Amnesty 2022 (Program Pengungkapan Sukarela - PPS)

Pemerintah meluncurkan program pengungkapan sukarela sebagai bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini berlangsung dari Januari hingga Juni 2022.

Program ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan aset yang belum dilaporkan pada periode 2016-2020. Program ini berhasil mengumpulkan deklarasi harta mencapai Rp 594,82 triliun.

Selain itu, pemerintah juga mengantongi setoran Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 61,01 triliun. Namun hasil repatriasi aset yang diperoleh lebih kecil dari harapan. Bahkan tidak sebesar tax amnesty pada 2016.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari