Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah berupaya menambal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN pada 2025. Dalam APBN 2025, defisit anggaran ditetapkan 2,53% dari produk domestik bruto (PDB) atau mencapai Rp 616,2 triliun.
Defisit ini diproyeksi bisa makin besar karena kabinet gemuk Presiden Prabowo Subianto. Total belanja negara pada 2025 bahkan dirancang mencapai Rp 3.621,3 triliun.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan ekspansi kabinet meningkatkan aktivitas dan anggaran sebesar 5%, 10%, hingga 20%.
"Anggaran belanja pemerintah pusat diestimasikan meningkat Rp 39,55 triliun hingga Rp 158,21 triliun, atau meningkat 4% hingga 15,8% dari total belanja APBN 2025," kata Riefky, Jumat (22/11).
Melihat risiko tersebut, sejumlah ekonom menilai pemerintah memang butuh dana segar untuk menambal defisit APBN. Kini wacana penerapan cukai, kenaikan PPN 12%, hingga usulan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III muncul untuk meningkatkan pendapatan negara pada 2025.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menilai upaya tersebut memang menjadi cara cepat pemerintah untuk mendapatkan pemasukan. “Ini cara paling mudah untuk mendapat penerimaan negara,” kata Esther kepada Katadata.co.id, Senin (25/11).
Meskipun begitu, kenaikan PPN menjadi 12% hingga adanya rencana pengampunan pajak dinilai belum tepat dilakukan. Terlebih daya beli hingga konsumsi masyarakat saat ini masih melambat.
Menurut Esther, seharusnya pemerintah berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu baru setelah itu penerimaan negara meningkat. “Kalau ekonomi lesu, kemungkinan penerimaan negara juga berkurang,” ujar Esther.
Potensi Pendapatan Negara Rp 70 Triliun
Kenaikan PPN hingga usulan tax amnesty memang bisa menambah pendapatan negara. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin melihat dua kebijakan itu bisa mendongkrak pendapatan negara dengan instan.
“Dari kenaikan PPN dan tax amnesty jilid III diperkirakan ada tambahan penerimaan Rp 70 triliun dan Rp 60 triliun,” kata Wijayanto.
Wijayanto menilai, angka ini sangat lumayan untuk menambal lubang APBN. Terutama untuk menutup defisit BPJS Kesehatan hingga Rp 20 triliun serta membiayai program makan bergizi gratis Rp 71 triliun dan program Prabowo lainnya.
Kenaikan PPN dan Tax Amnesty Dinilai Tak Adil
Meskipun memiliki potensi menambah pemasukan negara,kenaikan PPN bersamaan dengan pengampunan pajak justru akan memberikan dampak negatif. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terkikis terkait kepatuhan pajak.
“Ini terkesan tidak adil tetapi keadilan bisa dibangun jika pemerintah juga mau melakukan beberapa hal lain,” ujar Wijayanto.
Wijayanto meminta pemerintah agar memastikan penerimaan pajak dapat digunakan untuk membiayai program-program kerakyatan. Hal ini dibarengi dengan penagakan hukum bagi pengemplang pajak.
Selain itu, dia juga mendesak pemerintah agar melakukan penghematan belanja dan proyek yang tidak perlu seperti pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), penghematan biaya pertemuan dan perjalanan dinas berlebih.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu kembali menstabilkan iklim usaha industri. Salah satunya dengan menekan jumlah impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
“Impor ilegal yang merusak ekonomi rakyat ini juga perlu dihentikan,” kata Wijayanto.
Penjelasan Sri Mulyani dan Kemenkeu
Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan sejumlah langkah agar penetapan tarif PPN 12% bisa dilaksanakan pada 2025. Pemerintah juga akan berupaya menjelaskan sebaik mungkin agar masyarakat memahami kenaikan PPN tersebut.
Bendahara Negara ini menjelaskan kenaikan PPN 12% diperlukan agar pemerintah tetap bisa menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rencana kenaikan pajak ini sudah dipertimbangkan secara matang.
"Kita membuat kebijakan tentang pajak, termasuk PPN, bukan berarti membabi buta dan seolah-olah tidak punya afirmasi terhadap sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan dan bahkan makanan pokok waktu itu termasuk,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (14/12).
Dia menekankan bahwa APBN dibuat untuk merespons berbagai kondisi di luar perkiraan pemerintah, seperti dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 dan krisis finansial secara global.
Pada kesempatan berbeda, Kemenkeu menyatakan bahwa Ditjen Pajak telah melakukan evaluasi dan program tax amnesty memberikan dampak positif bagi penerimaan negara.
“Program tax amnesty merupakan instrumen yang penting bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti kepada Katadata.co.id, Kamis (21/11).
Namun, keberhasilan program ini tidak hanya tergantung pada jumlah dana yang terkumpul karena dampaknya baru terasa dalam jangka panjang, terutama terhadap kepatuhan pajak dan perbaikan sistem perpajakan secara keseluruhan.
Meski begitu, pihaknya belum bisa memberikan penjelasan secara detil berkaitan dengan usulan tax amnesty jilid III. Karena Ditjen Pajak masih mendalami rencana tersebut.