Segudang Masalah Bayangi Proyek Hilirisasi Tambang

123RF.com/miraclemoments
Ilustrasi proyek hilirisasi pertambangan berupa pabrik permunian dan pengolahan alias smelter.
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
29/12/2021, 18.25 WIB
  • Presiden Joko Widodo menyebut ekspor bahan mentah tidak lagi memberi manfaat besar bagi negara.
  • Berbagai masalah masih membayangi proyek hilirisasi dan pemerintah belum memberikan solusi.
  • Penyerapan domestik terhadap produk hilirisasi masih minim. 

Pemerintah berencana menghentikan ekspor bahan mentah produk pertambangan secara bertahap pada 2022. Penerapan ini akan mulai dari bauksit. Sebelumnya, per 1 Januari 2020, bijih nikel pun sudah tak lagi boleh diekspor.

Kebijakan itu bertujuan untuk mendorong hilirisasi produk tambang mineral. Presiden Joko Widodo menyebut dengan memberi nilai tambah, maka dapat membuka lapangan pekerjaan dan tidak lagi menjual bahan mentah ke luar negeri. 

Ekspor bahan mentah, menurut dia, tidak lagi memberi manfaat besar bagi negara. “Mau-tak mau, (kita) harus mendirikan industri di Tanah Air,” katanya saat meresmikan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry di Konawe, Sulawesi Selatan, Senin (27/12). 

Pabrik smelter Gunbuster Nickel Industri diperkirakan menyerap 27 ribu lapangan kerja. Jumlahnya bertambah seiring dengan peningkatan kegiatan industri di sekitar pabrik. Kapasitas pengolahan bijih nikel menjadi feronikel di pabrik ini mencapai 1,8 juta ton per tahun. 

Dari bijih nikel yang diolah menjadi feronikel, nilai tambahnya meningkat 14 kali. Apabila bijih nikel diolah menjadi billet stainless steel, nilainya meningkat 19 kali lipat. Dengan peleburan bijih nikel menjadi baja nirkarat atau stainless steel, nilai ekspor komoditas ini akan melonjak menjadi US$ 20,8 miliar atau setara Rp 291,2 triliun.

Pada Kamis lalu, Jokowi juga menghadiri peresmian Kawasan Industri Hijau Indonesia di Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Pada kesempatan itu, PT Adaro Energy Tbk mengumumkan rencananya membangun smelter aluminium.

Investasi itu akan melalui anak usahanya, PT Adaro Aluminium Indonesia. Perusahaan telah menandatangani surat pernyataan untuk investasi  letter of intention of invest sebesar US$ 728 juta (sekitar Rp 10,4 triliun).

Wakil Presiden Direktur Adaro, Ario Rachmat mengatakan pembangunan smelter tersebut guna mendukung program hilirisasi pemerintah. Perusahaan berharap dapat membantu mengurangi impor aluminium, memberi nilai tambah terhadap produk alumina, dan meningkatkan penerimaan pajak negara. 

"Kami juga berharap keberadaan industri aluminium di Kalimantan Utara ini dapat mendatangkan banyak investasi lanjutan dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat," kata dia dalam keterangan tertulis.

Smelter tembaga di Gresik milik PT Smelting (Wahyu Dwi Jayanti | KATADATA)

Persoalan Hilirisasi Produk Tambang

Para pengamat dan pengusaha tambang sepakat dengan keinginan pemerintah. Hilirisasi akan sangat menguntungkan negara apabila diimplementasikan dengan baik. 

Dari sisi sumber daya manusia, pembangunan smelter akan menyerap banyak tenaga kerja. Dari sisi ekonomi, pabrik pemurnian akan meningkatkan devisa. Sebab, barang tambang jadi yang diekspor memiliki nilai jual lebih tinggi daripada bahan mentah.

Kebijakan ini tentu akan berpengaruh besar di pasar ekspor. Apalagi permintaan dunia akan produk turunan dari industri mineral sangat besar. Salah satunya adalah stainless steel untuk kebutuhan konstruksi, transportasi, hingga alat kesehatan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhappi) Rizal Kasli mengatakan, Indonesia memiliki kekayaan mineral dan dapat dimaksimalkan dengan akuisisi teknologi dari luar negeri. “Secara global, yang akan menentukan nantinya adalah efisiensi produksi dan permintaan dunia,” katanya pada Katadata.co.id, Senin lalu. 

Prospek pasar domestik cukup positif, terutama untuk produk hilirisasi aluminium dan timah. Indonesia saat ini dalam posisi defisit alias mengimpor kedua produk ini dari negara lain. Beberapa di antaranya adalah aluminium sheet, aluminium plate, aluminium foil, dan aluminium scrap

Defisit produk aluminium setiap tahun berkisar lebih US$ 600 juta. Untuk mengatasinya, Rizal menyarankan, adanya peta jalan atau roadmap agar industri hilir dan manufaktur dapat tumbuh subur di dalam negeri.

Meskipun rencana hilirisasai dianggap baik, namun masih banyak rintangan dalam negeri yang harus diselesaikan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menyebut ada tiga masalah utama program tersebut.

Pertama, penambang ilegal. Ferdy menyoroti banyaknya penambang timah ilegal yang bisa ditemui di Bangka-Belitung yang memberi efek domino buruk ke harga timah. 

Pemerintah harus menyeimbangkan kebijakan pemberhentian ekspor timah dengan pemberhentian penambang ilegal. Para penambang ini turut melakukan ekspor secara ilegal dan menentukan harga sendiri. 

Kondisi ini tentu sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara penghasil timah terbesar nomor dua setelah Tiongkok. “Bertahun-tahun kita tidak bisa jadi penentu harga karena penambangan ilegal banyak di Bangka-Belitung dan tidak bisa dihentikan oleh pemerintah,” ucap Ferdy. 

Masalah kedua, monopoli hilirisasi Tanah Air oleh perusahaan Tiongkok. Pengusaha lokal masih belum siap membangun smelter karena investasi yang tinggi dan penguasaan teknologi yang lemah. 

Contohnya, Indonesia memiliki smelter feronikel milik PT Aneka Tambang (Antam) Tbk yang memiliki kapasitas 27 ribu metrik ton per tahun. Namun, tidak ada perusahaan swasta nasional yang berani melakukan hal serupa.

“Kalau mau diskusi pabrik smelter nikel, maka kita akan membicarakan penguasaan industri hilir oleh Cina,” kata Ferdy.

Dari perhitungan Ferdy, Negeri Manufaktur sudah menguasai 70% industri hilir nikel di Indonesia. Rinciannya adalah Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menguasai sekitar 50% pasar industri hilir nikel, Virtue Dragon Nickel Industry sebesar 10% hingga 13%, dan Tsingshan melalui Bintang Delapan sekitar 5%. 

Ketiga perusahaan ini adalah perusahaan Tiongkok. Sisanya dimonopoli PT Vale Indonesia Tbk, yang menguasai sekitar 19% industri hilir dan 7% perusahaan domestik. Pemerintah melalui MIND ID sudah berhasil mengakuisisi 20% kepemilikan Vale. 

Sama seperti masalah di Bangka Belitung, perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Indonesia tidak menggunakan harga patokan minimum (HPM) untuk membeli bijih nikel (nickel ore). “Kita sudah berterimakasih karena ada progres (pembangunan smelter), tapi tidak didominasi oleh Tiongkok, dong,” kata Ferdy kepada Katadata.co.id, melalui telepon.

Masalah ketiga adalah kerakusan dari dua sisi, perusahaan smelter dan penambang. Ada banyak daerah tambang yang menumpuk di satu lokasi. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang mau menjual bahan mentah kepada smelter, tapi ditolak dengan konsesi masing-masing. 

Akhirnya, penambang terus-menerus mengeruk bahan mentah dan meningkatkan pasokan yang tidak diproses menjadi bahan jadi. Kondisi ini, menurut Ferdy, harus ditindak tegas. Dalam 20 tahun ke depan, menurut hitungannya, bahan mentah mineral akan habis, seperti produksi Minyak dan gas.

Sebagai informasi, pemerintah menargetkan akan ada 53 fasilitas smelter yang beroperasi di tahun 2024. Sebanyak 30 pabrik mengolah nikel. 

Hingga kini, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghitung ada 13 smelter nikel sudah berproduksi. Data lebih lanjut dapat dilihat dalam Databoks berikut:

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, ada dua hal yang juga harus dibenahi agar kebijakan ini dapat saling menguntungkan pemerintah dan pelaku usaha. Pertama, industri manufaktur domestik masih tidak menyerap produk hasil hilirisasi, malah mengimpornya. Penyebabnya, harga dalam negeri yang jauh lebih mahal dibandingkan produk luar negeri. 

Ia mendorong agar pemerintah menerapkan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). “Pemerintah harus tegas. Kalau bisa diproduksi dalam negeri, janganlah diimpor,” kata Mamit pada Katadata.co.id.

Masalah kedua, tidak adanya peraturan yang lebih detail mengenai harga antara penambang dan smelter. Hal ini menyebabkan nilai beli yang tidak cocok di antara kedua sisi. “Harusnya selama harga masih menguntungkan, masuk dan ekonomis, maka akan terlaksana dengan baik,” katanya.

Bijih Nikel (ANTARA FOTO/REUTERS/Yusuf Ahmad)

Domestik Belum Banyak Serap Produk Hilirisasi

Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menyebut pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah agar program hilirisasi berjalan lancar. Ketua AP3I Prihadi Santoso menyebut masalah itu penyerapan pasar lokal belum maksimal.

Pasar domestik kini hanya menyerap 10% produk smelter. Sisanya menjadi produk ekspor. Di dalam negeri, pembeli terbesar ada di perusahaan kecil dan menengah yang biasa menggunakannya untuk proyek infrastruktur jembatan dan tol. 

Rendahnya penyerapan lokal, menurut dia, disebabkan tiga faktor. Pertama, tingginya dana untuk membangun smelter. Untuk mencapai keekonomian harga, perusahaan tambang yang sudah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) terpaksa menjadi perusahaan peleburan (smelter).

“Perusahaan tambang sebenarnya tidak punya keahlian (smelter), berupa sumber daya manusia, teknologi, dan pasar,” kata Prihadi, kemarin. 

Kedua, meskipun pemerintah sudah memberhentikan ekspor bahan baku mineral, namun tetap ada kegiatan impor barang jadi dari luar negeri. Penyebabnya tak lain karena harga dari luar negeri lebih murah. 

Para pengusaha berpendapat pemerintah telah abai dengan Pedoman Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) yang telah diatur dalam Peraturan Peraturan Menteri (Permen) Perindustrian Nomor 2 Tahun 2014.

Ketiga, belum adanya formula harga yang jelas untuk komoditas nikel. Wakil Ketua Umum AP3I Jonatan Handojo mengatakan, patokan harga yang ditetapkan Kementerian ESDM bersama dengan Asosiasi Penambang Nikel (APNI) tidak sesuai dengan kaidah internasional. 

Patokan harga yang diikuti secara global adalah bursa berjangka bursa berjangka Londong, Inggris, alias London Metal Exchange (LME).  “Harga komoditi kok diatur tiga bulan sekali? Itu omong kosong,” kata Jonatan.

Masalah lainnya adalah harga energi yang dipatok PLN sangat tinggi. Sedangkan perusahaan smelter membutuhkan energi pembakaran yang sangat besar untuk meleburkan mineral. 

Selama ini perusahaan setrum negara menyediakan batu bara sebagai energi utama pembangkit. Namun, beberapa tahun terakhir Indonesia mulai berbenah menuju zero emission, maka energi yang digunakan adalah gas. 

Harga gas yang tinggi inilah yang menghalangi produktivitas perusahaan smelter. AP3I pun pesimistis dengan kemungkinan penurunan harga energi. “PLN saja sekarang lagi kesulitan keuangan karena banyak utang. Gimana caranya orang lagi ngutang malah dimintai tolong?” kata Prihadi.

Pemerintah juga perlu meninjau kembali terhadap fasilitas fiskal tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan (PPh) bagi perusahaan smelter yang dimiliki asing. Kebijakan ini dinilai memberatkan perusahaan lokal. “Asing itu belum pasti lama di Indonesia, kok dibebaskan pajak,” ujar Jonatan.

Reporter: Amelia Yesidora