Nasib Mujur Rupiah dan Ekonomi RI di Tengah Perang dan Bunga The Fed

Pixabay/Gerd Altmann
Ilustrasi. Pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga lima kali pada tahun ini.
Penulis: Agustiyanti
25/2/2022, 18.51 WIB
  • The Fed diperkirakan tetap akan menaikkan suku bunga mulai bulan depan di tengah pecahnya perang Rusia dan Ukraina.
  • Konflik Rusia dan Ukraina berpotensi memberikan dampak positif pada ekonomi Indonesia

Perang yang pecah antara Rusia dan Ukraina memberikan tekanan baru terhadap ekonomi global. Namun, Indonesia lagi-lagi berpeluang diuntungkan dari situasi sulit dunia. Konflik memicu lonjakan harga komoditas yang dapat berdampak positif pada rupiah di tengah ancaman kenaikan suku bunga Amerika Serikat. 

Invasi Rusia ke Ukraina memasuki hari kedua. Sebelum perang pecah, pasar meyakini The Federal Reserve (The Fed) akan agresif menaikkan suku bunga acuan demi merespons lonjakan inflasi. Bank Sentral AS hampir pasti menaikkan bunga pada pertemuan berikutnya bulan depan. 

Data inflasi Amerika pada Januari yang mencapai 7,5% secara tahunan, memicu spekulasi pasar untuk kenaikan The Fed Fund Rate 50 basis poin pada  pertemuan 15-16 Maret. Namun, tensi geopolitik yang meningkat menciptakan risiko yang rumit bagi The Fed. 

Di satu sisi, dampaknya kemungkinan menahan inflasi yang melonjak ke level tertinggi dalam empat dekade. Di sisi lain, hal itu dapat membebani perekonomian AS yang juga berpotensi tertekan oleh kenaikan tensi geopolitik. 

Mengutip The New York Times, pejabat The Fed telah mengisyaratkan bahwa mereka akan tetap di jalur untuk menaikkan suku bunga mulai bulan depan. Besarnya pukulan ekonomi yang ditimbulkan dari invasi Rusia kepada AS masih belum pasti.

Presiden Federal Reserve Bank of Cleveland Loretta Mester mengatakan dalam pidatonya pada Kamis (24/20) masih menilai kenaikan suku bunga dana mulai bulan depan merupakan kebijakan yang tepat. Kenaikan ini kemudian akan berlanjut beberapa bulan mendatang. 

Namun demikian, menurut dia, dampak dari invasi ini akan mempengaruhi seberapa cepat The Fed bergerak. “Implikasi dari situasi yang sedang berlangsung di Ukraina untuk prospek ekonomi jangka menengah di AS juga akan menjadi pertimbangan dalam menentukan langkah yang tepat untuk menghapus dukungan moneter,” kata Mester.

Komentarnya sejalan dengan yang dibuat oleh banyak rekannya pekan ini setelah invasi. Bank sentral memantau situasi, tetapi tidak berniat membatalkan rencana mereka untuk menarik kembali dukungan ekonomi yang telah direncanakan mulai bulan depan karena kondisi inflasi. 

The Fed terkadang bereaksi terhadap masalah global dengan memotong suku bunga. Namun, para ekonom mengatakan kali ini kemungkinan akan berbeda. “Situasi saat ini berbeda dari episode sebelumnya ketika peristiwa geopolitik membuat Fed menunda pengetatan atau pelonggaran karena risiko inflasi telah menciptakan alasan yang lebih kuat dan lebih mendesak bagi Fed untuk mengetatkan hari ini,” demikian tertulis dalam riset Goldman Sachs. 

Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai The Fed kemungkinan tetap akan menaikkan bunga acuan bulan depan, tetapi tidak akan terlalu agresif. Ia memperkirakan The Fed Fund Rate akan naik 25 bps pada bulan depan. 

“The Fed saya perkirakan tidak akan seagresif yang diperkirakan pasar karena ekonomi juga belum sepenuhnya pulih dan kenaikan inflasi lebih disebabkan oleh faktor suplai. Belum lagi ada perang,” ujar David kepada Katadata.co.id. 

David menilai, rupiah akan tetap stabil meski The Fed menaikkan suku bunga acuan pada bulan depan. Selain pasar sudah mengantisipasi, menurut David, rupiah ditopang fundamental ekonomi yang kuat. 

Ia juga menilai, sentimen perang Rusia dan Ukraina tak akan memberikan tekanan besar pada rupiah. Rupiah sempat melemah 0,37% ke level Rp 14.391 per dolar AS pada perdagangan kemarin, tetapi sudah berbalik menguat hari ini dan ditutup di level Rp 14.364 per dolar AS. 

Sentimen perang, menurut David, justru dapat menjadi ‘berkah’ baru bagi ekonomi Indonesia sebagai negara penghasil komoditas. Perang antara Rusia dan Ukraina mendorong harga komoditas melambung dan mendorong ekspor. Hal ini akan memberikan dampak positif terhadap rupiah. 

Pecahnya perang mendorong harga minyak dunia pada perdagangan kemarin melampaui US$ 100 per barel. Kenaikan harga juga terjadi pada komoditas gas dan batu bara. Harga gas acuan Eropa pada perdagangan kemarin naik 35% dibandingkan Rabu (23/2) menjadi 120 euro per kwh. Sementara harga batu bara di pasar spot kemarin naik 5,5% menjadi US$ 239,5 per metrik ton. 

“Kemungkinan Indonesia akan diuntungkan dengan situasi saat ini, secara neto akan positif,” kata David. 

Halaman: