Ancaman Krisis Energi Menghantui Nasib Program Energi Bersih Dunia

123rf.com
Ilustrasi pipa gas Rusia Uni Eropa
23/6/2022, 07.45 WIB

Mellach, pembangkit listrik tenaga batu bara yang terletak sekitar 200 kilometer di selatan ibu kota Austria, Wina, sudah berhenti beroperasi sejak April 2020 lalu. Verbund, perusahaan negara yang mengelola Mellach, pun mengubah pembangkit listrik berkapasitas 246 megawatt itu menjadi fasilitas riset energi. Meski Mellach telah dikonversi agar dapat berfungsi dengan bahan bakar gas, fasilitas itu tetap tak dioperasikan dan cuma jadi pembangkit cadangan.

Krisis energi yang membayangi Eropa sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari lalu memaksa pemerintah Austria mengaktifkan lagi Mellach. Alih-alih menggunakan gas, Mellach malah disiapkan agar bisa beroperasi lagi menggunakan batu bara. Austria mengambil langkah drastis untuk mengantisipasi darurat energi setelah Rusia menyetop pasokan gasnya ke sejumlah negara Eropa.

"Pemerintah federal dan perusahaan energi Verbund setuju mengubah pembangkit listrik Mellach, yang saat ini tidak aktif, agar dalam kondisi darurat nanti bisa memproduksi listrik dengan tenaga batu bara," demikian pernyataan yang dirilis kantor Kanselir Karl Nehammer seperti dilaporkan Reuters pada Senin (20/6).

Keputusan mengaktifkan Mellach terbit seusai sidang kabinet membahas krisis energi yang dipimpin Kanselir Nehammer. Rencana Austria untuk terus menurunkan emisi karbon dan mengembangkan program energi bersih terancam rontok. Austria merupakan negara kedua di Eropa setelah Swedia yang sudah menyetop penggunaan batu bara sebagai sumber energi.

Kisruh energi juga membuat Belanda akhirnya mencabut pembatasan operasional pembangkit tenaga batu baranya. Pengumuman itu disampaikan langsung Menteri Iklim dan Energi Belanda, Rob Jetten, di Den Haag pada Senin (20/6) lalu. Sebelumnya, Belanda sudah membatasi produksi pembangkit itu hanya sepertiga dari total kapasitas demi menekan emisi karbon dioksida.

Dengan pencabutan pembatasan produksi pembangkit batu bara, Belanda mengincar penghematan 2 miliar meter kubik gas per tahun. Untuk menambah stok gas, Belanda juga berencana memproduksi 2,8 miliar meter kubik lagi dari ladang gas di Groningen tahun depan. Padahal tadinya Belanda sudah mengindikasikan tidak lagi mengambil gas dari Groningen pada 2023.

Selama ini sekitar 15% dari suplai gas alam ke Belanda diimpor dari Rusia. Dampak perang Ukraina membuat Belanda harus mencari pemasok energi lain. Negara itu juga sudah membeli gas alam cair alias liquefied natural gas (LNG) dan memotong konsumsi gas.

Dengan segala aksi itu, Belanda diperkirakan masih membutuhkan tambahan stok gas. Pemerintah negeri itu pun mengimbau perusahaan dan pelaku bisnis menghemat energi sebaik mungkin. Pasalnya, imbas krisis energi di Eropa bisa memperburuk situasi di Belanda. “Saat ini memang tidak ada kekurangan gas,” kata Menteri Jetten seperti dilaporkan France24. “Tapi banyak negara sedang ditekan, itu membuat kami khawatir.”

Austria dan Belanda kini bergabung bersama sejumlah negara Eropa lain, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, yang berencana mengaktifkan lagi atau memperpanjang operasional pembangkit-pembangkit listrik tenaga batu bara lawas mereka. Perubahan drastis ini adalah buntut panjang dari langkah Uni Eropa yang menghukum Rusia setelah negara itu menyerang Ukraina.

Uni Eropa memang bereaksi keras setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan militernya menyerbu Ukraina. Laporan Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan lebih dari 4.500 warga Ukraina tewas akibat invasi Rusia. Uni Eropa menjatuhkan sanksi ekonomi, memutus relasi dagang, serta membekukan aset para pejabat dan entitas bisnis Rusia.

Uni Eropa juga berencana menyetop secara bertahap impor bahan bakar fosil itu. Mereka menargetkan bisa menyetop 90 persen impor minyak dan setidaknya dua pertiga pasokan gas dari Rusia pada akhir tahun ini. 

Puluhan tahun Uni Eropa bergantung pada pasokan minyak dan gas alam Rusia. Sebanyak 40% kebutuhan gas alam mereka didatangkan dari Rusia. Sisanya datang dari Norwegia, (22%), Aljazair (18%), dan Azerbaijan (9%). Eropa juga membeli LNG dari Amerika Serikat dan sejumlah negara lain dengan jumlah sekitar 400 juta meter kubik per hari.

Seperempat dari total impor minyak Uni Eropa, atau sekitar 2,2 juta barel minyak mentah per hari, masuk lewat jaringan pipa-pipa dari Rusia. Eropa juga mengimpor 1,2 juta barel produk minyak lainnya dari Rusia. Dari para konsumennya di Eropa, Rusia menangguk pendapatan lebih dari US$ 1 miliar per hari.

Dengan sanksi ekonomi dan embargo energi, para pemimpin Eropa berharap bisa menekan Rusia. Namun Putin melawan balik dan justru menyebut masalah energi di Eropa adalah akibat ulah para pemimpin mereka sendiri. Dia bahkan menuntut para konsumen energi di Eropa membayar produknya dengan rubel, mata uang Rusia. Polandia, Bulgaria, dan Finlandia menolaknya. Rusia langsung meresponnya dengan mematikan kran saluran gas alamnya ke negara-negara itu.

Pekan lalu, perusahaan energi Rusia, Gazprom, bahkan mengurangi 60 persen aliran gasnya yang melewati jaringan pipa bawah laut Nord Stream ke Jerman. Gazprom menyebut pengurangan aliran gas itu sebagai dampak dari kegiatan perawatan jaringan pipa. Eropa malah menyebut aksi Gazprom itu sebagai bagian taktik politik Putin. 

Sejumlah pemimpin Eropa juga menuding Rusia menggunakan isu energi untuk memeras. residen Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyebut tuntutan Rusia agar para konsumen energinya membayar dengan rubel merupakan keputusan sepihak dan melanggar kontrak. "Sudah saatnya pemerasan dengan alasan energi ini dihentikan," ujarnya.

Perdana Menteri Italia, Mario Draghi, menyebut langkah Rusia menghentikan aliran gas alam ke Eropa merupakan aksi politis. Ada pun Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky menyebut Rusia tengah memeras komunitas Eropa dengan memanfaatkan tekanan di sektor energi. 

Berusaha menekan Rusia, Uni Eropa ternyata juga menghadapi perlawanan internal. Hongaria, Slovakia, dan Republik Cek terus berupaya meredam rencana Eropa menerapkan embargo minyak ke Rusia. Hongaria menjadi oposan terkuat setelah Perdana Menteri Hongaria, Victor Orban, menolaknya. Menteri Luar Negeri Hungaria, Peter Szijjarto, seperti dilaporkan Euronews, menyatakan negaranya tidak mendukung rencana Uni Eropa karena membuat mereka kerepotan mendapatkan suplai energi.

Masalah makin runyam bagi Eropa ketika Putin semakin membatasi akses energi. Alhasil, negara-negara Eropa kelimpungan mencari penggantinya. Rusia sudah menyetop separuh pasokan gasnya ke Italia dan Slovakia. Suplai gas ke Prancis malah sudah dimatikan total. Sebelumnya, Rusia juga sudah mematikan aliran gasnya ke Polandia, Bulgaria, Finlandia, Belanda, dan Denmark.

Langkah Rusia menyetop pasokan minyak dan gas langsung mendongkrak harga bahan bakar fosil itu di Eropa. Pemerintah Jerman bahkan mengimbau warganya untuk menghemat energi. "Menghemat setiap kilowatt jam sangat membantu dalam situasi seperti ini," kata Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck, seperti dilaporkan NBC News pada Jumat (17/6). "Ini situasi serius, namun tidak membahayakan ketahanan pasokan energi di Jerman."

Selama ini, Jerman sangat tergantung pada pasokan gas alam Rusia. Tahun lalu, sebanyak 55 persen pasokan gas ke Jerman berasal dari Rusia. Sejak Rusia menginvasi Ukraina, Jerman sudah mulai meningkatkan pembelian gas dari negara lain, seperti Norwegia, Amerika Serikat, dan Uni Emirat Arab. Alhasil, pembelian gas ke Rusia pun turun sekitar 20 persen.

Toh, Jerman tetap harus segera mengisi fasilitas penyimpanan gasnya. Ini untuk mengantisipasi keperluan energi pada musim dingin. Pemerintah Jerman menargetkan tanki-tanki gas mereka seharusnya sudah terisi 90 persen pada November nanti.

Data dari Asosiasi Perusahaan Gas Eropa menunjukkan penyimpanan gas Jerman baru terisi 57,03% pada 17 Juni lalu. Menteri Habeck mengatakan tanki penyimpanan gas sudah harus penuh ketika musim dingin tiba. "Itu adalah prioritas kami," ujar politikus dari Partai Hijau tersebut.

Pasokan gas itu digunakan untuk sistem pemanas dan sektor manufaktur. Sekitar sepertiga rumah tangga di Jerman menggunakan pemanas dengan gas. Ada pun hanya sekitar 15 persen dari total produksi listrik yang menggunakan gas. "Putin jelas-jelas membuat strategi untuk membuat kita tidak merasa aman, menaikkan harga, dan memecah-belah kita," kata Habeck.

Seperti Jerman, Austria juga harus bergegas memenuhi stok gas untuk persiapan menghadapi musim dingin. Selama ini, sekitar 80 persen suplai gas Austria diperoleh dari Rusia. Fasilitas penyimpanan gas Austria saat ini baru 39 persen terisi. Padahal pada Oktober nanti, tanki-tanki gas harus terisi setidaknya 80 persen dari kapasitas untuk memastikan sistem pemanas bisa beroperasi.

Uni Eropa juga melirik Israel dan Mesir sebagai mitra baru untuk meningkatkan pasokan gas dari kawasan Mediterania Timur. Pada 15 Juni lalu, Uni Eropa dan Israel menyetujui nota kesepahaman untuk meningkatkan ekspor gas. Dalam perjanjian itu, Uni Eropa akan mendorong perusahaan Eropa berpartisipasi dalam tender eksplorasi migas Israel dan Mesir. Meski demikian, rencana kerja sama ini kemungkinan baru terlihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan.

Eropa masih perlu banyak berbenah untuk mengatasi krisis energi dan melewati musim dingin tanpa gas Rusia. Di saat yang sama, krisis energi ini juga bisa memacu Eropa mengembangkan pembangkit dengan energi bersih. “Pengurangan konstruksi dengan energi fosil menjadi lebih cepat dari yang diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan,” kata Lauri Myllyvirta, analis di Pusat Riset Energi dan Udara Bersih seperti dilaporkan CNBC.

Ladang pembangkit listrik tenaga surya di Yunani (ANTARA FOTO/REUTERS/Alexandros Avramidis/rwa/cf)

Mengembangkan infrastruktur pembangkit energi bersih memerlukan waktu lebih panjang. Sementara Eropa membutuhkan sumber alternatif dalam waktu cepat untuk memenuhi kebutuhan energinya. Macetnya pasokan energi dari Rusia membuat Eropa berpaling ke sumber energi fosil lain, termasuk batu bara Indonesia. Apalagi Uni Eropa akan menghentikan impor batu bara dari Rusia pada Agustus mendatang.

Spanyol dan Polandia dikabarkan tengah menjajaki pembelian batu bara Indonesia. Jerman juga ikut mengincar batu bara Indonesia, bahkan sudah mengajukan permintaan sebanyak enam juta ton.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Lana Saria, mengatakan Jerman mengajukan permintaan itu saat Menteri ESDM Arifin Tasrif berkunjung pada akhir Mei lalu. ”Permintaan juga disampaikan Asosiasi Pertambangan Jerman di Kedutaan Besar Indonesia di Jerman. Tapi belum ada lagi permintaan secara resmi,” kata Lana kepada Katadata lewat pesan singkat pada Selasa (21/6).

Sungai Batanghari di Sumatra digunakan untuk jalur angkutan batu bara (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.)

Asosiasi Pertambangan Batu Bara mengungkapkan ada kenaikan permintaan batu bara Indonesia dari negara-negara Eropa. Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan ada sejumlah perusahaan batu bara Indonesia yang tengah menjalin pembahasan dengan negara-negara Eropa. "Ke Jerman mungkin sudah ada pengapalan ke sana. Kargo ke Polandia sudah ada memang, ekspor ke sana sudah jalan," kata Hendra pada Jumat (17/6). 

Krisis energi juga membuat Eropa berani menawar harga batu bara lebih tinggi. Padahal kualitas batu bara Indonesia masih di bawah standar yang dipakai negara-negara Eropa. "Karena ini menjelang musim dingin, mereka harus mencari batu bara segera," kata Hendra. "Kualitas bisa juga dicampur."

Negara-negara Eropa merupakan konsumen batu bara dengan nilai kalori berkisar 5.800-6.000 GAR. Batu bara berkadar kalori tinggi seperti itu tidak banyak terdapat di Indonesia. Sebagian besar batu bara Indonesia memiliki kalori tingkat menengah dan rendah yang biasanya diekspor ke India dan Cina.

Selain perbedaan kualitas dan nilai kalori, batu bara Indonesia jarang diekspor ke Eropa karena jaraknya yang lebih jauh ikut melambungkan biaya angkutan. Volume ekspor batu bara Indonesia dalam setahun rata-rata 400 juta ton. Namun jumlah yang diekspor ke Eropa paling tinggi satu juta ton.

Uni Eropa juga telah mengimpor batu bara dari Afrika Selatan 40% lebih banyak dibanding jumlah yang dibeli pada 2021. Pada akhir Mei lalu, kargo berisi 3,24 juta ton batu bara dikirim dari Richards Bay Coal Terminal. Jumlah ini setara dengan 15% ekspor batu bara dari terminal itu pada 2021. Sepanjang 2022, ada 22 juta ton batu bara keluar dari terminal ekspor batu bara terbesar di Afrika Selatan itu.

Minat Eropa terhadap batu bara Indonesia kian meramaikan peta persaingan para pemburu bahan bakar fosil itu. India dan Pakistan dikabarkan juga mengincar lebih banyak lagi batu bara Indonesia. Tingginya harga dan peluang menjual batu bara jelas membuat para produsen tergiur menggenjot produksi.

Menurut Hendra, kemampuan meningkatkan produksi itu tergantung pada kesiapan perusahaan membuat perencanaan pertambangan dan status keuangannya. Sejumlah perusahaan sudah mengajukan revisi Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) untuk menambah kapasitas produksi. "Pemerintah yang lebih tahu persisnya mengenai perusahaan-perusahaan yang mengajukan revisi RKAB," ujarnya.

Reporter: Happy Fajrian, Syahrizal Sidik