Pertumbuhan utang pemerintah melesat dalam satu dasawarsa terakhir. Rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) pun meningkat.
Lonjakan nominal utang terutama terjadi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada akhir 2014, ketika Joko mulai duduk di kursi presiden, nominal utang tercatat sebesar Rp 2.608,8 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 24,7%.
Kemudian, pada akhir tahun 2015, tahun pertamanya menjabat sebagai Presiden RI, utang pemerintah melonjak menjadi Rp 3.089 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 27%.
Lalu utang pemerintah terus meningkat, terutama saat terjadinya pandemi Covid-19. Kementerian Keuangan melaporkan bahwa nilai utang Indonesia sebesar Rp 6.908,9 triliun pada akhir 2021. Adapun rasionya terhadap PDB tercatat mencapai 41%.
Jika dirinci berdasarkan komposisinya, sebesar Rp 6.090,31 (88,15%) utang berupa Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah. Sementara dalam bentuk pinjaman sebesar Rp 818,56 triliun (11,85%).
Nilai utang pemerintah pada akhir tahun lalu bertambah Rp 834,31 triliun (13,73%) dibandingkan posisi akhir 2020. Utang pemerintah juga naik Rp 2.129,6 triliun (44,56%) jika dibandingkan dengan posisi akhir 2019, yakni sebelum adanya pandemi Covid-19.
Nilai utang pemerintah tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah. Sedangkan rasio utang pemerintah terhadap PDB juga merupakan rekor tertinggi sejak 2006.
Meskipun utang pemerintah dilihat dari nilainya sangat besar, namun rasio utang Indonesia masih di bawah batas maksimal yang tertuang di dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60% terhadap PDB.
Bank Dunia memprediksi utang pemerintah pusat akan semakin meningkat pada 2022 menjadi 43,7% terhadap PDB. Sedangkan pada 2023 dan 2024, rasio utang diprediksi meningkat menjadi 44,3% dan 44,4%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, lonjakan utang yang terjadi saat ini tidak berlangsung begitu saja. Kondisi utang sudah diperparah sejak puluhan tahun lalu, dan makin buruk saat krisis moneter berlangsung pada 1997-1998.
“Waktu ada krisis 1997-1998 dengan adanya bail out, makanya utang kita (negara) sangat tinggi karena obligasi. Jadi ujung-ujungnya adalah beban negara,” ujar Sri Mulyani dikutip dari Kontan, Kamis 7 April 2022.
Sri Mulyani menyebutkan bahwa pengelolaan anggaran negara tak bisa dilepaskan dari utang, terutama dipakai untuk menambal defisit APBN.
Dia menyebutkan alasan utang pemerintah yang terus membengkak terlebih saat terjadinya pandemi. Menurutnya, utang yang dilakukan pemerintah merupakan langkah untuk menyelamatkan dan menyejahterakan masyarakat di tengah krisis pandemi Covid-19.
“Walaupun kita defisit, drop, kita masih bisa berutang tetapi itu untuk menyelamatkan masyarakat, ekonomi dan sosial,” katanya dalam CNBC Economic Outlook 2022 di Jakarta, Selasa 22 Maret 2022.
Sri Mulyani menilai seiring pemulihan ekonomi yang terus menguat, maka utang menjadi semakin rendah. Hal itu juga karena pemerintah dapat membayar utang ketika penerimaan negara mulai naik.
Menurutnya, utang Indonesia masih cukup rendah dibanding negara-negara anggota G20 baik dari sisi India sebagai emerging country hingga Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman sebagai negara maju.
“Mengenai utang Indonesia 40% atau 41%, anggota G20 tidak ada utangnya serendah kita. Advance country seperti AS, Prancis, Inggris, Jerman semuanya sudah di atas 60 persen bahkan di atas 100 persen,” jelas Sri Mulyani.
Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.