Kondisi ini pula yang menyebabkan rasio kepositifan (positivity rate) testing masih tinggi. Sesuai batas ideal yang ditetapkan WHO sebesar 5%, positivity rate di Jakarta mencapai 19% pada 1 September lalu. Jika dirata-ratakan, pada periode 5 Juni-2 September—yakni selama masa PSBB transisi—tingkat kepositifannya mencapai 6,8%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan selama masa PSBB (10 April-4 Juni) sebesar 5,4%.
Masih tingginya posivity rate ini ditengarai seiring dengan dengan makin aktifnya mobilitas warga Jakarta selama PSBB transisi. Data Google Mobility Index menunjukkan, aktivitas warga cenderung meningkat setelah pelonggaran PSBB mendekati kondisi sebelum terjadi pandemi. Peningkatan mobilitas terutama terjadi di area rekreasi, taman, tempat kerja, dan stasiun transit.
Penduduk Jakarta pun termasuk yang menganggap enteng risiko tertular Covid-19. Survei yang dilakukan LaporCovid-19 dengan Social Resilience Lab, Nanyang Technological University menunjukkan, warga Jakarta menganggap risiko—diri sendiri, keluarga, atau orang selingkungannya—kecil dan sangat kecil tertular Covid-19.
Di sisi lain, terus bertambahnya kasus positif dapat berdampak terhadap kemampuan pelayanan kesehatan di Jakarta. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rasio keterisian tempat tidur isolasi dan ICU di rumah sakit masing-masing mencapai 74% dan 81% per 30 Agustus. Angka ini naik dua kali lipat dibandingkan pada bulan sebelumnya.
Bisa jadi kapasitas pelayanan kesehatan akan kelimpungan jika penularan Covid-19 tidak terkendali. Apalagi banyak tenaga kesehatan yang tertular, dan tidak sedikit yang akhirnya meninggal dunia.
Editor: Aria W. Yudhistira