Advertisement
Advertisement
Analisis | Jejaring Dinasti Politik di Pilkada 2020 Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Jejaring Dinasti Politik di Pilkada 2020

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Sejumlah kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangkan Pilkada 2020. Bagaimana penyebarannya di daerah dan partai politik pengusungnya?
Author's Photo
12 Desember 2020, 12.10
Button AI Summarize

Dosen FISIP UNS Martien Herna Susanti dalam penelitiannya yang berjudul Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia menyatakan, penyebab dinasti politik terus bercokol dari Pilkada ke Pilkada adalah regulasi yang lemah. Pasal 7 poin (q) UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang mengatur tentang larangan dinasti politik, dibatalkan MK melalui putusan Nomor 34/PUU-XIII/2015.

MK, seperti dikutip Martien, dalam putusannya menilai alasan konflik kepentingan yang mendasari terbentuknya peraturan tersebut hanya bersifat politis dan asumtif, seolah-olah setiap kandidat yang terafiliasi darah dengan petahana akan membentuk dinasti politik. MK menilai hubungan darah adalah kodrat ilahi dan tak bisa menghalangi seseorang berkiprah dalam politik atau menjadi pejabat pemerintahan.

Sampai saat ini belum ada peraturan lain yang melarang dinasti politik. Hal ini menjelaskan “aji mumpung” para elite politik melakukan regenerasi melalui Pilkada, meskipun tak seluruhnya mulus seperti Wapres Ma’ruf Amin yang gagal memenangkan anaknya di Pilkada Tangerang Selatan.  

Pakar Politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai ketiadaan aturan bukan berarti praktik dinasti politik benar. Pencalonan kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat, seperti Gibran dan Bobby, telah menabrak etika. Pasalnya mereka terkesan karbitan atau dipaksakan.

“Jadi dipaksakan yang penting jadi, mumpung ayahnya (Jokowi) lagi punya jabatan,” kata Ujang kepada Katadata.co.id, Kamis (10/12).  

  Berakibat pada Oligarki, Korupsi, dan Rusaknya Demokrasi

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha menilai dinasti politik bisa mengarah kepada oligarki. Oleh karena itu, menurutnya, jika kerabat pejabat atau mantan pejabat ingin mencalonkan diri di pemilu setidaknya berjeda satu periode masa jabatan dari pendahulunya.

“Karena di situ anggota keluarganya bisa menggunakan kewenangan atau pengaruhnya, supaya bisa meloloskan anggota keluarga (lain) sebagai pejabat publik,” ujar Egi, Kamis (10/12).

Pandangan Egi tersebut selaras dengan Michels, seorang pemikir terkemuka terkait oligarki dalam bukunya, The Iron Law of Oligarchy. Michels berpendapat bahwa saat seseorang berkuasa akan cenderung membentuk kubu, termasuk apabila itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Sementara, oligarki dekat dengan korupsi. Hal ini sebagaimana pendapat Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarchy, bahwa seorang oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Upaya penguasaan sumber daya tersebut lah yang memungkinkan seorang oligark melakukan korupsi.

ICW pun mencatat enam kepala daerah yang melakukan dinasti politik tersandung korupsi. Salah satu di antaranya adalah Bupati Klaten, Sri hartini yang terjerat kasus suap promosi jabatan. Ia akhirnya digantikan oleh wakilnya, Sri Mulyani.

Dinasti politik pun berpotensi merusak demokrasi lantaran membuat masyarakat lain yang tak berasal dari lingkaran keluarga elite tertentu sulit berkontestasi dan menang dalam pemilu. Wujud nyatanya adalah fenomena melawan kotak kosong di daerah dengan kandidat terafiliasi dinasti politik, seperti di Pilkada Kediri 2020.  

Robert A Dahl dalam Dilemma of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control menyatakan, salah dua dari tujuh kriteria demokrasi bisa terkonsolidasi, adalah setiap warga negara yang dewasa berhak maju dalam pemilu dan setiap pemilih berhak mendapat informasi alternative dengan dilindungi hukum.  

Indonesianis Marcus Mietzner dalam penelitiannya berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System menyatakan, praktik dinasti politik di Indonesia tidak sehat bagi demokrasi. Alasannya bisa menyebabkan kontrol terhadap pemerintah melemah. Dengan begitu, kesewenangan dalam pelaksanaan kekuasan berpeluangan besar terjadi.

“Memang ini tanggung jawab kita bersama, agar warga benar-benar melihat demokrasi dari aspek substansial. Ketika melihat ada nilai demokrasi yang rusak, semestinya ini menjadi tanggung jawab bersama supaya warga sadar akan hal itu,” kata Egi.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi