Advertisement
Advertisement
Analisis | Resep TikTok Merebut Pasar YouTube dan Instagram Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Resep TikTok Merebut Pasar YouTube dan Instagram

Foto: 123RF
TikTok mampu mengungguli pendapatan bulanan YouTube hanya dalam waktu empat tahun. Rasio interaksi antarpengguna (engagement) pun unggul dari Instagram. Apa kunci suksesnya?
Andrea Lidwina
15 Desember 2020, 08.34
Button AI Summarize

Keberhasilan TikTok mendunia dalam waktu singkat dan mendesak pasar pendahulunya tak lepas dari dua strategi. Pertama, ByteDance sebagai perusahaan yang menaungi TikTok meluncurkan dua versi aplikasi. Satu untuk pasar lokal Tiongkok untuk menyiasati kebijakan sensor konten yang ketat dari pemerintah, yakni Douyin yang mulai meluncur pada 2016.  

Setahun setelah Douyin, ByteDance meluncurkan TikTok untuk pasar global. ByteDance kemudian mengakuisisi Musical.ly, aplikasi serupa berbasis di Shanghai, Tiongkok dengan banyak pengguna di Amerika Serikat. Penulis buku Tech Titans of China Rebecca Fannin mengatakan akuisisi tersebut mampu mengembangkan teknologi dan inovasi pada TikTok, sekaligus menyesuaikan aplikasi itu dengan kebutuhan dan selera pengguna di negara-negara Barat.

“Strategi ini bisa menjadi model baru bagi perusahaan digital lain yang ingin menjangkau pasar global, juga perusahaan Amerika Serikat yang menemukan kendala saat masuk ke pasar Tiongkok,” kata Fannin, seperti dikutip dari Harvard Business Review.

Kedua, TikTok memiliki desain aplikasi yang memudahkan pengguna. Setelah mengunduh TikTok di ponsel, pengguna tidak perlu mem-follow akun orang lain terlebih dahulu. Algoritma aplikasi ini mempelajari preferensi para penggunanya melalui durasi dan interaksi mereka dengan video yang tersedia.

Melansir Vox, YouTube sebetulnya sudah menggunakan cara tersebut, tetapi pengguna memilih TikTok karena memiliki durasi video yang lebih singkat. Dengan begitu pula, lebih banyak data yang diberikan pengguna pada algoritma aplikasi ini sehingga rekomendasi video bisa semakin akurat dan personal.

Tak hanya itu, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) pada TikTok membuat proses mengedit video lebih sederhana dan menyarankan penggunaan musik, tagar, atau filter yang sedang populer.

Pertumbuhan TikTok yang kian pesat membuat Instagram dan YouTube berusaha menjaga pasarnya. Hasil survei GlobalWebIndex pun menunjukkan sebanyak 38% responden menggunakan Instagram untuk menonton video, aktivitas yang sedari awal ditawarkan TikTok.

Karena itu, Instagram dan YouTube merilis fitur serupa TikTok, yakni Instagram Reels pada awal Agustus dan YouTube Shorts pada pertengahan September lalu. Para pengguna kini bisa membuat video berdurasi 15 detik, mengedit, dan mengunggahnya di akun mereka masing-masing. Namun, tanpa desain dan algoritma TikTok, Reels dan Shorts belum tentu mampu mengunggulinya.

Di tengah kejayaannya, TikTok masih harus meyakinkan sejumlah negara soal keamanan data—tidak dibagikan pada pemerintah Tiongkok—dan mencegah terjadinya pemblokiran aplikasi, seperti yang sudah terjadi di India dan masih dalam proses negosiasi di Amerika Serikat. Media sosial ini pun harus mengantisipasi adanya penyebaran misinformasi dan disinformasi dalam konten-konten videonya, yang umum terjadi dalam lanskap media sosial saat ini.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi