Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengukur Monopoli Bisnis Digital Facebook dan Google Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengukur Monopoli Bisnis Digital Facebook dan Google

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Facebook tersandung praktik monopoli karena gemar mengakuisisi media sosial lain. Persoalannya bukan ukuran perusahaan atau pangsa pasarnya, tapi sebeberapa banyak pengguna platform media sosial tersebut.
Andrea Lidwina
17 Desember 2020, 08.32
Button AI Summarize

Selain Facebook, gugatan serupa pernah dilayangkan Departemen Kehakiman AS terhadap Google pada Oktober lalu. Google dituduh memonopoli pasar mesin pencari dan iklan yang muncul bersama hasil pencarian.

Menurut perhitungan StatCounter, pangsa pasar Google memang mencapai 92,2% pada November 2020. Sedangkan, sisanya dibagi untuk lima mesin pencari lainnya. Namun, pihak Google menampik tuduhan monopoli. Besarnya pangsa pasar atau jumlah pengguna belum tentu mengisyaratkan adanya monopoli yang dilakukan sebuah platform atau perusahaan teknologi.

“Orang menggunakan Google karena mereka memilihnya, bukan karena mereka dipaksa atau tidak memiliki pilihan lain,” tulis Wakil Presiden Senior Google Kent Walker di blog Google pada 20 Oktober.

COO Facebook Sheryl Sandberg mengatakan hal yang sama. Melansir CNBC International, menurutnya para pengguna kini punya banyak pilihan platform atau media sosial, bahkan beberapa di antaranya berkembang pesat, seperti TikTok dan Snapchat.

Dalam artikel “Vital Signs: Google’s huge market share doesn’t automatically make it a monopoly” yang dimuat di The Conversation, profesor ekonomi di University of New South Wales (UNSW) Richard Holden menjelaskan media sosial, mesin pencari, dan platform serupa lainnya memiliki network externalities. Mereka menghubungkan setiap pengguna, penjual dengan konsumen, atau pengguna dengan pengiklan dan informasi.

Jaringan ini menentukan seberapa bernilainya suatu platform bagi para pengguna, yang berpengaruh pada pangsa pasar atau jumlah pengguna aktif. Namun, besaran indikator itu juga tidak bertahan selamanya. Holden mencontohkan, Internet Explorer yang mendominasi pasar mesin pencari pada awal 2000 pun kini tidak terdengar lagi gaungnya.

Karena itu, hal yang perlu diperhatikan oleh para pembuat kebijakan dalam industri teknologi bukan lagi soal ukuran perusahaan atau pangsa pasarnya, melainkan efek dari jaringan tersebut. Profesor media di Queensland University of Technology Amanda Lotz mencontohkan Google+ tidak mampu bersaing dengan Facebook karena orang umumnya menggunakan media sosial yang juga digunakan oleh teman-temannya.

“Membuat media sosial baru tidak membutuhkan infrastruktur yang mahal, tapi yang sulit adalah membangun jaringan yang membuat orang mau bergabung,” tulisnya seperti dikutip dari artikel “Amazon, Google and Facebook warrant antitrust scrutiny for many reasons – not just because they’re large” di The Conversation.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira