Advertisement
Advertisement
Analisis | Wabah Pernikahan Dini di Tengah Pandemi dan Dampak Buruknya Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Wabah Pernikahan Dini di Tengah Pandemi dan Dampak Buruknya

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Pernikahan dini berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, status pendidikan, sampai ekonomi perempuan.
Dwi Hadya Jayani
8 Januari 2021, 15.48
Button AI Summarize

Hal serupa terjadi pada pemuda yang menikah pertama di usia 16-18 tahun. Mayoritas (25,79%) berasal dari 40% kelompok ekonomi terbawah. Sebaliknya, hanya 9,27% yang berasal dari 20% kelompok ekonomi teratas.  (Infografik: Perkawinan Anak di Indonesia Mengkhawatirkan)  

“Fenomena tersebut tidak lepas dari perspektif keluarga dengan status ekonomi rendah tidak mampu memenuhi biaya pendidikan dan cenderung melihat anak perempuan sebagai beban ekonomi keluarga. Solusinya adalah menikah sedini mungkin,” tulis BPS dalam laporannya mengutip International Center for Research on Women.

Perempuan memang lebih cenderung menikah dini dibandingkan laki-laki di Indonesia. BPS Mencatat 3,22% perempuan menikah di bawah usia 15 tahun pada 2020. Sedangkan, hanya 0,34% laki-laki yang menikah di usia tersebut. Lalu, 27,35% perempuan menikah di usia 16-18 tahun. Sedangkan, hanya 6,40% laki-laki yang menikah di kategori usia tersebut.

Akibat Buruk Pernikahan Dini

Banyaknya perempuan yang menikah dini berkorelasi dengan angka kehamilan di bawah umur. Per Maret 2020, BPS mencatat 4,77% perempuan berusia 16-19 tahun pernah melahirkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti dikutip BPS, kehamilan dan persalinan perempuan berusia 10-19 tahun berisiko lebih tinggi mengalami eklampsia, puerperal endometritis, dan systemic infections daripada yang di usia 20-24 tahun.

Lebih lanjut, mengutip Kanal Pengetahuan Fakultas Kedokteran UGM, perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun lima kali lebih besar berisiko meninggal daripada saat usia 20 tahun ke atas. Selain itu, bayi yang lahir dari perempuan berusia di bawah 18 tahun memiliki risiko mortalitas dan morbiditas 50% lebih tinggi, prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), dan pendarahan saat persalinan.

BPS mencatat 15,74% bayi yang lahir dari perempuan berusia 16-19 tahun tergolong BBLR per Maret 2020. Angka ini lebih tinggi dari bayi yang lahir dari perempuan berusia 20-30 tahun, yakni 11,57%.

Perempuan yang menikah dini juga berpeluang lebih tinggi putus sekolah. Menurut data BPS pada 2015, rata-rata lama sekolah perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun hanya 7,60 tahun. Lebih rendah dari yang menikah setelah 18 tahun, yakni 9,80 tahun.

Hanya 8,88% perempuan yang menikah sebelum 18 tahun menamatkan pendidikan SMA/sederajat pada 2015, berdasarkan data BPS. Sebaliknya, proporsi terbanyak adalah menamatkan pendidikan sampai SMP/sederajat, yakni 41,18%. (Analisis Data: Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Covid-19)

Pendidikan yang rendah membuat mereka kesulitan mengakses pekerjaan. Pada 2015, berdasarkan data BPS, rasio bekerja ke populasi (EPR) perempuan berusia 20-24 tahun dan sudah kawin hanya 34,41%. Lebih rendah dari EPR perempuan berusia di rentang sama yang belum kawin.

Data BPS tersebut mengindikasikan perempuan yang menikah dini sangat berpeluang menurunkan kemiskinan kepada anaknya. Terlebih, seperti disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab pernikahan dini karena ketidakmampuan ekonomi. Sehingga, bisa dikatakan pernikahan dini bukanlah solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan, tapi malah melanggengkannya.

Demi menurunkan angka pernikahan dini, Doesn Fakultas Hukum Unpad Sonny Dewi Judiasih, meminta pengadilan memperketat izin dispensasi kawin. “Apa alasan tersebut merupakan alasan yang mendesak atau dapat ditunda serta mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak dalam hukum,” kata Sonny melansir Kompas.com.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi