Advertisement
Advertisement
Analisis | Sengkarut Data Penanganan Covid-19 di Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Sengkarut Data Penanganan Covid-19 di Indonesia

Foto: 123RF
Pembatasan pergerakan masyarakat tidak berjalan maksimal karena terbentur persoalan data. Pemerintah juga dinilai terlambat mengajak menerapkan protokol kesehatan sehingga pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum terkendali.
Andrea Lidwina
13 Januari 2021, 11.34
Button AI Summarize
 

Kedua, kebijakan yang selalu bimbang antara menyelamatkan ekonomi dan kesehatan, salah satunya pada penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pernyataan Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada 30 Maret 2020 mencerminkan hal itu.

Menurutnya, pemerintah tak melakukan lockdown karena wajib memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.  Sementara Presiden Jokowi menyebutnya sebagai kebijakan yang menyeimbangkan “gas dan rem.”

Namun, PSBB tidak sepenuhnya menyelamatkan ekonomi dan berdampak buruk secara kesehatan. Indonesia tetap mengalami resesi ekonomi pada kuartal III dengan pertumbuhan ekonomi -3,49%. Angka ini pun lebih rendah dari Malaysia yang tumbuh -2,7%. Di sisi lain, kasus Covid-19 terus merangkak naik lantaran pemerintah tak mengimbangi PSBB dengan 3T (testing, tracing, dan treatment) yang baik.

Kondisi ini berbeda dengan Vietnam yang memberlakukan lockdown. Ekonomi mereka lekas pulih dan penyebaran Covid-19 mampu terkendali. Selaras dengan riset bertajuk Pandemics Depress the Economy, Public Health Interventions Do Not: Evidence from the 1918 Flu, bahwa kota-kota di Amerika Serikat yang lebih dulu mengetatkan protokol kesehatan selama pandemi flu Spanyol mampu cepat bangkit secara ekonomi daripada yang belakangan. 

Ketiga, terlambat mengomunikasikan pentingnya menerapkan protokol kesehatan kepada masyarakat. Pada awal Covid-19 menerpa Indonesia di Maret 2020, mantan Menkes Terawan saat itu justru mengabaikan pentingnya penggunaan masker. Ia berujar bahwa masker hanya untuk yang sakit saja agar tidak menyebabkan kepanikan.

Pemerintah baru galak terhadap penerapan protokol kesehatan, khususnya gerakan 3M (menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, dan memakai masker) baru setelah kasus Covid-19 melonjak. Itu pun belum mampu sepenuhnya mengungkit kepatuhan masyarakat menerapkan gerakan 3M.   

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan justru terus menurun, yakni dari 79,5% yang memakai masker pada akhir Oktober 2020 menjadi 55,2% pada awal Januari 2021. Kemudian dari 62,6% yang menjaga jarak menjadi 39,5%.

Penurunan partisipasi tersebut berakibat pada meningkatnya risiko masyarakat terpapar virus corona, begitu pula dengan tenaga kesehatan. Sebanyak 607 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat Covid-19 per 12 Januari 2021, dengan hampir setengahnya merupakan dokter (258 orang). Padahal, rasio dokter di Indonesia hanya 0,4 orang per 1.000 penduduk.

Akademisi I Nyoman Sutarsa, I Md Ady Wirawan, dan Putu Ayu Swandewi Astuti dalam artikel mereka di The Conversation mengatakan pemerintah harus melibatkan masyarakat secara aktif melalui sistem komunitas. Sistem ini bisa menghubungkan kepentingan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat, termasuk promosi protokol kesehatan, distribusi bantuan sosial, dan pengawasan adanya transmisi virus secara lokal. Dengan begitu, partisipasi masyarakat dalam penanganan pandemi Covid-19 juga akan meningkat.

Pemerintah masih punya segudang pekerjaan rumah dalam penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia, alih-aih terlalu cepat bersyukur dengan kondisi saat ini. Meski vaksin telah didatangkan dan mendapatkan izin penggunaan darurat, pekerjaan rumah ini tetap perlu diselesaikan guna mencegah pandemi yang berkepanjangan dan menyiapkan diri kala wabah datang kembali.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi