Advertisement
Advertisement
Analisis | Mengapa Kasus Covid-19 di Jawa - Bali Naik saat Pembatasan Kegiatan? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Kasus Covid-19 di Jawa - Bali Naik saat Pembatasan Kegiatan?

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Lonjakan kasus Covid-19 masih terjadi di semua provinsi di Jawa dan Bali. Padahal, pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM sudah berjalan dua pekan. Apa penyebab kasusnya tidak menurun?
Dimas Jarot Bayu
27 Januari 2021, 10.14
Button AI Summarize

Di Jawa Barat, kasus kematian secara mingguan meningkat 32% dari 128 menjadi 170 orang. Kasus kematian secara mingguan di Jawa Timur meningkat 9,6% dari 448 menjadi 491 orang. Kasus kematian secara mingguan di Bali meningkat 566% dari 6 menjadi 40 orang.

Sementara, kasus kematian secara mingguan di Jakarta, Jawa Tengah, dan Yogyakarta menurun pada pekan kedua pelaksanaan PPKM. Penurunan tertinggi di Yogyakarta yang mencapai 20,3% dari 64 menjadi 51 orang.  

Jika dirinci berdasarkan kabupaten/kota, kasus corona meningkat di 52 daerah dalam sepekan pertama pelaksanaan PPKM. Sebaliknya, penurunan kasus hanya terjadi di 21 daerah.

Kasus aktif di 46 kabupaten dan kotamadya juga meningkat pada pekan pertama PPKM. Sebaliknya, hanya 24 wilayah mengalami penurunan kasus aktif dan 3 lainnya tetap.

Kenaikan angka kematian juga terlihat di 44 kabupaten dan kotamadya. Sedangkan jumlah kabupaten dan kota yang melaporkan penurunan kasus hanya 29.

(Baca: Potensi Bahaya Penyebaran Varian Baru Virus Corona di Indonesia)

Akibat dari masih massifnya peningkatan kasus Covid-19 di Jawa-Bali, adalah rumah sakit tetap mengalami darurat kapasitas tempat tidur isolasi dan unit perawatan intensif (ICU). Berdasarkan data per 21 Januari 2021, 5 dari 7 provinsi di Jawa-Bali memiliki tingkat keterpakaian tempat tidur isolasi dan ICU RS melebihi 70%.

DKI Jakarta mejadi provinsi paling darurat kapasitas tempat tidur isolasi dan ICU RS dengan keterisian mencapai 85,62%. Angka ini beda tipis dengan di Yogyakarta yang di peringkat kedua dengan tingkat keterisian dua ruangan tersebut mencapai 84,23%.

Berdasarkan data, setidaknya ada tiga penyebab utama PPKM Jawa-Bali jilid I tak efektif melandaikan kasus Covid-19. Pertama, mobilitas masyarakat belum menurun secara signifikan di seluruh wilayah Jawa-Bali.  

Google Mobility Report hingga 19 Januari 2020 mencatat pergerakan masyarakat DKI Jakarta ke stasiun transit hanya menurun 6% dibandingkan saat PPKM mulai berlaku. Di Banten, Yogyakarta, dan Bali pun menunjukkan penurunan di angka sama dalam rentang tersebut.

Masih belum signifikannya penurunan mobilitas masyarakat selama PPKM mengindikasikan pemerintah provinsi di Jawa-Bali belum ketat melakukan pembatasan.  Hal ini tidak sejalan dengan fungsi PPKM untuk membatasi pergerakan masyarakat. 

Kedua, pelacakan kontak erat yang masih minim. Berdasarkan data KawalCovid-19, rata-rata rasio lacak isolasi (RLI) di Jawa-Bali baru sebesar 1,03. Padahal idealnya untuk menekan angka penularan Covid-19 adalah 30 yang berarti ada 30 orang kontak erat terlacak untuk tiap kasus positif.

Ketiga, belu seluruh masyarakat di Jawa-Bali patuh menerapkan protokol kesehatan. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 17 Januari 2021 mencatat rata-rata kepatuhan memakai masker dan menjaga jarak di DKI Jakarta masih 76,9% dam 73,9%.

Lalu, di Banten rata-rata kepatuhan memakai masker dan menjaga jarak masing-masing 71,9% dan 83,1%. Sebuah hal yang menjelaskan pula bahwa imbauan tak cukup meningkatkan kesadaran masyarakat mematuhi protokol kesehatan, melainkan perlu juga pengawasan secara ketat, khususnya di ruang publik.

(Baca Juga: Peluang dan Bahaya Penyintas Mengalami Long Covid-19)  

PPKM Jawa-Bali jilid II yang mulai berlaku akan menjadi efektif bila pemerintah lebih efektif menekan pergerakan masyarakat, melakukan pelacakan isolasi, dan mengawasi kepatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan.  

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi