Ironinya, mayoritas pelaku justru berasal dari keluarga inti, yakni ibu (60,4%), kakak atau adik (36,5%), dan ayah (27,4%). Patut diduga, belajar online memindahkan beban pengajaran yang selama ini di sekolah ke rumah. Hal ini menambah beban orang tua, terutama ibu, di tengah masa pandemi. Di satu sisi mengurus rumah tangga, di sisi lain mengawasi pelajaran anak-anak.
Sementara terkait risiko eksternal, KPAI mencatat banyak anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia. Hingga 31 Agustus 2020, terdapat 26 kasus anak sebagai korban pekerja, 18 korban prostitusi, 16 korban perdagangan anak, 15 korban eksploitasi seks komersial anak, sembilan korban adopsi illegal, dan empat kasus anak sebagai pelaku muncikari.
Ketiga, risiko penurunan capaian belajar. Berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul “Janji Pendidikan Indonesia 2020“, penutupan sekolah berpotensi menurunkan kemampuan membaca anak-anak.
Bank Dunia memprediksi skor membaca anak sekolah Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) turun sebesar 16 poin. Penurunan tersebut berpotensi menyebabkan kehilangan pendapatan tahunan sebesar US$ 367 per orang di masa depan.
Meskipun pendidikan tatap muka dinilai penting, tapi pemerintah perlu membenahi penanganan pandemi Covid-19. Terutama dalam menekan jumlah kasus baru Covid-19.
Kemudian meningkatkan pengawasan terhadap sekolah dalam menerapkan protokol kesehatan. Meskipun secara persentase anak-anak penderita Covid-19 lebih rendah, tapi risiko penularan tetap tinggi.
Editor: Aria W. Yudhistira