Advertisement
Advertisement
Analisis | Berapa Besar Ancaman Tenggelamnya Kota-kota Pesisir di Indonesia? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Berapa Besar Ancaman Tenggelamnya Kota-kota Pesisir di Indonesia?

Foto: Joshua Siringo Ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Selain Jakarta, sejumlah kota di pesisir Indonesia terancam hilang terendam air laut. Jutaan orang berisiko kehilangan tempat tinggal, mengancam lingkungan dan ekonomi negara. Seberapa besar ancaman tersebut dan dampaknya?
Annissa Mutia
30 Agustus 2021, 13.34
Button AI Summarize

Kenaikan permukaan laut di lokasi tertentu mungkin lebih atau kurang dari rata-rata peningkatan air laut global. Itu bisa disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya penurunan muka tanah, pengendalian banjir hulu, erosi, arus laut regional, dan variasi ketinggian tanah.

Sementara itu, menguti dari laman Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, Heri mengatakan kota-kota di Indonesia yang terancam tenggelam pada 2050 tak hanya disebabkan oleh peningkatan ketinggian air laut saja. Faktor yang lebih besar adalah akibat penurunan muka air tanah, sehingga lebih rendah dari permukaan laut.

Kondisi ini disebabkan sebagian wilayah Indonesia terbentuk dari interaksi beberapa lempeng besar, seperti Australia dan Eurasia. Hal ini mengakibatkan Indonesia memiliki banyak daerah sedimen. Daerah sedimen datar merupakan tempat terbaik untuk pengembangan perkotaan dan perkotaan, terutama di sekitar daerah sedimen pesisir. Namun persoalannya, daerah sedimen adalah tempat di mana penurunan tanah umumnya terjadi.

Tingkat penurunan tanah biasanya dapat bervariasi antara 1 sampai 20 sentimeter per tahun. Di beberapa tempat bahkan bahkan turun lebih dalam. Berdasarkan hasil penelitian Heri dan timnya dalam penelitian bertajuk “Wawasan Hubungan Penurunan Tanah dengan Banjir di Wilayah Indonesia”, terdapat setidaknya 17 daerah sedimen di Indonesia, yang merupakan kota, peternakan, daerah tambak, atau lahan gambut.

Berdasarkan penelitian tersebut, daerah Pekalongan, Semarang, dan wilayah pesisir Demak memiliki laju penurunan muka tanah yang lebih besar ketimbang Jakarta. Tak hanya itu, kota-kota tersebut ternyata mempunyai luas area di bawah permukaan laut yang lebih besar ketimbang Jakarta.

Dia mewanti-wanti, jika dalam waktu 10 tahun ke depan pemangku kepentingan daerah tidak melakukan mitigasi bencana yang baik, maka wilayah-wilayah itu justru lebih berisiko tenggelam.

Berdasarkan penelitian Heri, penurunan permukaan tanah paling banyak terjadi di pesisir utara Jawa dan Sumatera. Ada tiga kota yang mengalami penurunan permukaan tanah tertinggi mencapai 1-20 cm per tahun, yaitu Jakarta Utara, Bandung, dan Semarang. Kota di Jawa yang juga mengalami penurunan besar adalah Demak dan Pekalongan.

Sementara di luar Jawa, penurunan tanah tertinggi ada di Langsa dan kota Medan dengan penurunan 1-8 cm per tahun.

Dampak dari Tenggelamnya Kota di Indonesia

Beberapa dampak penurunan muka tanah antara lain menyebabkan keretakan pada infrastruktur bangunan, masalah drainase, perluasan wilayah banjir, dan genangan rob. Apabila suatu daerah dataran rendah mengalami penurunan muka tanah atau terdapat cekungan amblesan, maka air akan langsung mengalir ke dalamnya dan membentuk zona banjir.

Melihat proyeksi kota-kota di Indonesia yang akan tenggelam di bawah permukaan laut pada 2050, sejumlah pencegahan perlu dilakukan. Pasalnya, potensi kerugian dari terendamnya kota oleh air laut sangat banyak.

Pertama, kerugian fisik dan lingkungan. Peningkatan air laut dan penurunan tanah membuat Indonesia terancam kehilangan wilayah pesisir, sumber daya lahan, kerusakan ekosistem gambut dan infrastruktur, serta peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain itu, masyarakat juga akan kerap mengalami banjir di kemudian hari, penurunan kualitas hidup, dan potensi tsunami.

Dari aspek sosial, masyarakat akan kehilangan mata pencaharian berbasis lahan pesisir dan atau lahan gambut. Sementara dari segi ekonomi, biaya pengolahan tanah akan bertambah karena banjir rob, penggunaan air bersih lebih besar, dan biaya tak terduga lainnya.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira