Advertisement
Advertisement
Analisis | Kecemasan Gen Z di Balik Gemerlap Citayam Fashion Week Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Kecemasan Gen Z di Balik Gemerlap Citayam Fashion Week

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Di balik gemerlap Citayam Fashion Week (CFW), anak-anak muda dari Gen Z sedang menghadapi kecemasan terhadap masa depan. Mulai dari ketersediaan lapangan kerja, pendapatan, hingga ancaman kemiskinan. Bagaimana CFW bisa memoles masa depan mereka?
Reza Pahlevi
27 Juli 2022, 08.39
Button AI Summarize

Ancaman Putus Sekolah

Ikon Citayam Fashion Week lain seperti Jasmine Laticia alias Jeje (16) dan Eka Satria Putra atau Bonge (16) juga putus sekolah. Jasmine sempat sekolah hingga kelas tiga SMP sedangkan Eka tidak lulus SD kemudian menjadi pengamen.

Potret putus sekolah seperti yang dialami anak-anak “Citayam” tersebut memang bukan sesuatu yang mengejutkan di Indonesia. Andreas Tambah, anggota Komisi Nasional Pendidikan, mengatakan fenomena ini disebabkan adanya pesimisme sebagian masyarakat terhadap pendidikan di tanah air.

“Sekolah negeri sudah banyak digratiskan tetapi kenapa banyak yang tidak menyekolahkan anaknya? Ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah,” kata Andreas ketika dihubungi Katadata, Senin 25 Juli 2022.

Apalagi ada fenomena lulusan SMA dan kuliah tidak menjamin mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Kondisi ini membuat banyak Gen Z memilih mengambil jalan instan seperti membuat konten medsos untuk mencari nafkah.

“Ada dunia lain yang menawarkan dengan lebih cepat, cepat terkenal, cepat viral, dan cepat dapat uang. Cara instan inilah yang dikejar anak-anak,” tambahnya.

Mengutip data BPS, persentase anak yang tidak sekolah meningkat semakin tinggi tingkat pendidikannya. Hanya ada 0,65% anak yang tidak bersekolah di SD/sederajat, sementara ada 21,47% anak usia SMA/sederajat yang tidak sekolah.

Kualitas pendidikan Indonesia juga belum sepenuhnya baik. Mengutip data Bank Dunia, Indonesia memiliki waktu belajar yang memperhitungkan kualitas pembelajaran atau learning-adjusted years of school (LAYS) selama 7,83 tahun, jauh di bawah ekspektasi 12,4 tahun.

Kondisi waktu belajar yang cukup rendah ini bahkan berpotensi lebih buruk setelah memperhitungkan kemungkinan kehilangan pembelajaran atau learning loss akibat pandemi Covid-19.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, rata-rata tahun belajar Indonesia berada di tengah-tengah. Indonesia kalah dari negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura.

Kehilangan waktu belajar ini berpotensi menurunkan tingkat pendapatan pekerja Indonesia di masa depan hingga maksimal 5,4%. Rata-rata pendapatan ini turun dari US$1.629 per tahun hingga menjadi US$1.590 per tahun.

Ini sekaligus membuat rata-rata pendapatan orang per tahun Indonesia semakin merosot di Asia Tenggara. Dalam skenario kehilangan belajar pesimistis, Indonesia pun diperkirakan akan kehilangan sebesar US$55,17 miliar dalam agregat pendapatan seumur hidup. Kehilangan ini dapat ditekan menjadi US$25,6 miliar dalam skenario optimistis.

Keterbatasan Lapangan Kerja

Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menilai keputusan Roy yang menolak beasiswa dari Sandiaga Uno sebagai hasil dari pendidikan formal Indonesia yang belum mengakomodasi literasi digital.

Imam menjelaskan, saat ini dunia berada dalam global digital culture atau budaya digital dunia di mana literasi digital menjadi penting. Dia menyayangkan pemerintah belum membuat infrastruktur pendidikan yang memadai untuk hal tersebut.

“Kalaupun anak-anak sekolah, mereka tidak tertarik. (Sekolah) tidak menjawab keinginan mereka,” kata Imam kepada Katadata.co.id, Senin 25 Juli 2022.

Preferensi Roy dan anak-anak Gen Z yang memilih menjadi pembuat konten sejalan dengan tren di pasar tenaga kerja. Proporsi lapangan kerja informal di sektor nonpertanian melonjak terutama bagi pekerja berusia antara 15 dan 24 tahun sejak tahun pertama pandemi.

Di Depok, Jawa Barat, misalnya, proporsi tenaga kerja informal dengan status buruh terus berkurang. Dari 69,4% pada 2020 menjadi 60,4% pada 2021. Sementara proporsi pekerja bebas di sektor nonpertanian meningkat dari 2,3% menjadi 4,2% pada periode yang sama.

Pandemi telah meningkatkan jumlah pemuda yang menganggur dan sedang tidak sekolah atau mengikuti pelatihan yang mencapai 22,4% pada 2021. Meskipun telah turun sejak tahun pertama pandemi, ini masih sedikit lebih tinggi dari level yang terlihat pada tahun 2019.

Walaupun pasar tenaga kerja telah bangkit secara bertahap, pandemi Covid-19 telah menekan sektor formal. Perusahaan-perusahaan dengan bisnis nonesensial terpaksa menunda kegiatan produksi dan mengurangi tenaga kerjanya untuk bertahan. Kemerosotan ini mendorong para pekerja kembali ke sektor informal.

Selain menekan sektor formal, pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi juga telah mendorong ekonomi digital untuk tumbuh pesat. Media sosial seperti TikTok memperbarui sarana untuk menghasilkan pendapatan.

Pembuat konten media sosial merupakan pekerjaan yang bisa mengakomodasi kebutuhan penduduk usia kerja tanpa latar belakang pendidikan tinggi, seperti Roy, Jeje, dan Bonge.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira