Thrifting alias belanja pakaian bekas telah menjadi tren di masyarakat, terutama kalangan anak muda, dalam beberapa tahun terakhir. Alasannya, mereka bisa mendapatkan pakaian bermerek luar negeri yang kualitasnya baik dengan harga miring.
Jika konsumen memiliki uang Rp500 ribu, dia hanya bisa membeli 1-2 potong pakaian di toko resmi. Sedangkan, di toko thrift, konsumen bisa membawa pulang lebih dari 3-4 potong pakaian. Pembelian semacam itu pun belum tentu bisa dilakukan untuk pakaian baru dari merek lokal.
Alhasil, perilaku thrifting berubah menjadi bisnis besar di pasar dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor pakaian bekas (kode HS 6309) sebanyak 26,2 ton sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat lebih dari 230% dari tahun sebelumnya, yang hanya sebanyak 7,9 ton.
Namun, data Trade Map menunjukkan angka berbeda. Setiap negara pengekspor mencatat volume pakaian bekas yang dikirim ke Indonesia dan totalnya mencapai 26,5 ribu ton pada 2022. Sebanyak 92,5% di antaranya berasal dari Malaysia.
(Baca: Tren ‘Thrifting’ yang Mengancam Industri Tekstil Nasional)
Lantas, data mana yang menunjukkan volume impor pakaian bekas Indonesia sebenarnya?
Dari hasil pantauan Katadata.co.id di sejumlah marketplace daring, pakaian bekas impor dijual dalam bentuk bal atau karung, meski ada pula yang dijual per potong. Satu bal umumnya berbobot 100 kg.
Jika menggunakan data BPS, artinya cuma ada 262 bal yang diimpor Indonesia pada 2022. Sementara, dengan data Trade Map, sekitar 265 ribu bal dikirim dan diperjualbelikan di pasar dalam negeri. Data Trade Map tampaknya lebih masuk akal, mengingat bisnis pakaian bekas kini tengah menggeliat.
Tidak hanya itu, data BPS hanya mencatat pakaian bekas impor yang masuk melalui sejumlah bandara di Indonesia, salah satunya Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sedangkan, sisanya di luar data BPS bisa jadi masuk melalui jalur tidak resmi atau ilegal.
Terlepas dari itu, bisnis pakaian bekas impor menimbulkan masalah baru. Bisnis ini turut menghasilkan sampah kain atau tekstil, lantaran tidak semua pakaian bisa dijual. Salah satu penjual di marketplace daring menulis di deskripsi produknya bahwa ada 10% pakaian reject dalam setiap bal yang dijualnya.
Artinya, beberapa pakaian bekas impor berakhir menjadi sampah. Jika diasumsikan jumlahnya sebesar 10%, Indonesia menampung sekitar 2,7 ribu ton sampah kain dari bisnis thrifting impor pada 2022.
Sampah Kain dari Bisnis Thrifting
Angka 2,7 ribu ton mungkin terkesan kecil untuk lingkup nasional dalam jangka waktu setahun. Namun, jumlah itu baru berasal dari bisnis thrifting impor, belum menghitung sampah kain dari perseorangan dan produksi industri tekstil lokal.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampah kain menyumbang 2,6% terhadap timbulan sampah nasional pada 2022. Persentase itu setara dengan 487,7 ribu ton.
Jika dilihat di beberapa lokasi, proporsi sampah kain tercatat lebih tinggi. Di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, angkanya sebesar 3,9% dari total timbulan sampah, atau sekitar 32,9 ribu ton pada 2022.
Lalu, di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang, persentase sampah kain mencapai 8% dari total sampah di kawasan tersebut, yang setara dengan 616,2 ton per hari pada 2019. Proporsi itu pun hanya lebih rendah dari sampah sisa makanan 43% dan plastik 28%.
Bahkan, dalam acara “Menghadap Laut 2.0: Bersih-bersih Pantai dan Laut” yang diadakan komunitas Pandu Laut Nusantara bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pantai Timur Ancol pada 2019, sampah kain mendominasi dengan 81,3% dari total temuan sampah. Angka itu setara dengan 6,1 ton.
Bisnis pakaian bekas impor terbukti akan menambah sampah kain yang sudah menumpuk di darat dan laut Indonesia. Meski jumlahnya bisa jadi tidak sebesar sampah kain dari dalam negeri, tiap tambahan sampah jenis ini tetap berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
Pengajar University of Technology Sydney Timo Rissanen mengatakan, mayoritas pakaian sebetulnya tidak dirancang untuk daur ulang. Pakaian hasil daur ulang yang kini dijual di sejumlah toko pun berasal dari sampah plastik dan limbah pabrik, bukan sampah kain.
Menurutnya, proses daur ulang pakaian membutuhkan banyak tenaga dan mahal. Sebab, satu pakaian bisa terdiri dari beberapa bahan yang mengandung serat berbeda, belum lagi jika tiap bahan diwarnai dengan bahan kimia. Alhasil, proses daur ulangnya pun berbeda untuk setiap bahan.
“Seringkali lebih mudah merobek pakaian dan mengubahnya menjadi produk berkualitas rendah,” tulis Rissanen (2022) dalam artikel “Brands are leaning on ‘recycled’ clothes to meet sustainability goals. How are they made? And why is recycling them further so hard?” di The Conversation.
Akibatnya, lebih banyak sampah kain yang benar-benar berakhir di tempat pembuangan sampah. Jika sampah kain berasal dari bahan-bahan natural, seperti sutra, wol, dan kasmir, maka sampah ini lebih mudah terurai, seperti dikutip dari situs Close The Loop.
Namun, jika sampah kain berasal dari bahan sintetis, seperti poliester, yang gencar digunakan industri fast fashion saat ini, proses penguraiannya memakan waktu 20-200 tahun. Selama proses itu, sampah kain akan mengeluarkan gas metana serta melarutkan bahan kimia beracun ke tanah dan air.
Bolehkah Masyarakat Belanja Pakaian Bekas?
Perilaku thrifting bukan lantas tidak diperbolehkan sama sekali. Melansir BBC Indonesia, Lektor Kepala Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Emenda Sembiring mengatakan, jika sumber pakaian bekas untuk bisnis thrifting berasal dari dalam negeri, justru akan berdampak baik.
Alasannya, menurut Emenda, pakaian bekas tidak langsung menjadi sampah kain, tetapi berumur lebih panjang, dengan digunakan oleh pembeli selanjutnya. Jadi, alih-alih menambah sampah kain, thrifting lokal bisa terus memutar pakaian itu dan mengurangi tumpukan sampah kain di Indonesia.
Meski begitu, belanja pakaian bekas lokal juga perlu diimbangi dengan kesadaran dan kebiasaan untuk mengatur jumlah pakaian yang kita beli dan tidak konsumtif, bukan hanya tergiur harga yang murah.
Sebab, pembelian berjumlah banyak dan dilakukan terus-menerus tidak memperpanjang usia pakaian. Sebaliknya, pakaian malah berpotensi lebih cepat dibuang dan akan menghasilkan sampah kain pula.
Sebagai gambaran, berdasarkan laporan “Wellbeing Wardrobe: A wellbeing economy for the fashion and textile sector”, konsumen diimbau mengurangi kuantitas pembelian pakaian baru sebanyak 75% dari biasanya. Ini bertujuan menciptakan “lemari pakaian yang berkelanjutan” dari level individu.
Editor: Aria W. Yudhistira