Advertisement
Advertisement
Analisis | Rapor Merah Korupsi Partai Politik Berkuasa di Indonesia Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Rapor Merah Korupsi Partai Politik Berkuasa di Indonesia

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Kasus korupsi yang melibatkan politisi dari partai politik yang sedang berkuasa marak terjadi. Ini membuktikan adagium bahwa kekuasaan cenderung korup. Politisi Partai Golkar dan Demokrat tercatat paling banyak terjerat kasus korupsi pada periode pemerintahan SBY. Lalu bagaimana dengan PDI Perjuangan yang sedang berkuasa saat ini?
Andrea Lidwina
3 April 2023, 10.37
Button AI Summarize

Hal serupa juga dikatakan profesor emeritus di University of Wollongong Brian Martin, dalam bukunya Information Liberation (1998). Menurutnya, para politisi awalnya ingin mengubah sistem, membantu masyarakat miskin, dan membasmi korupsi.

Namun, ketika mereka mendapatkan posisi, jabatan dan kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di korporasi, “slogan lama itu hanya tinggal kenangan,” tulis Martin.

Prioritas para politisi pun berubah. Bukan lagi membela masyarakat, melainkan memberi penghargaan dan mengikuti pihak yang berkuasa. Sebab, mereka juga ingin menambah kekuasaan dan kekayaan diri mereka sendiri.

Karena itu, dominasi Demokrat atau Golkar dalam koalisi pemerintah pada periodenya masing-masing membuat mereka punya kekuatan, pengaruh, dan kesempatan lebih besar dibandingkan partai politik lain. Sejumlah anggota kemudian menggunakannya untuk memperkaya diri mereka melalui korupsi.

Permainan Kekuasaan hingga Pelemahan KPK

Lalu, bagaimana dengan PDI Perjuangan yang kini jadi partai penguasa lembaga eksekutif dan legislatif di Indonesia?

Partai banteng moncong putih menempatkan Jokowi sebagai presiden pada periode 2019-2024. Dia memilih lima anggota PDI Perjuangan untuk menduduki posisi menteri di kabinetnya. Jumlah itu tentu paling banyak dibandingkan partai politik lain.

PDI Perjuangan juga berhasil memboyong 128 kadernya ke DPR atau setara 22,3% total kursi parlemen pada periode yang sama. Persentase itu belum ditambah dengan partai-partai koalisinya yang punya 59,7% kursi di parlemen.

Namun, hanya satu menteri dari PDI Perjuangan yang menjadi tersangka kasus korupsi sepanjang 2019 hingga Maret 2023. Pola relasi kekuasaan dan korupsi di partai Megawati ini pun berbeda dengan yang terjadi di Golkar dan Demokrat pada periode-periode sebelumnya.

Selain PDI Perjuangan, jumlah anggota DPR dari partai politik lain yang menjadi tersangka korupsi pun tercatat menurun drastis pada periode ini. Namun, ini bukan semata-mata prestasi para wakil rakyat. Sebab, parlemen yang mayoritas diisi koalisi pemerintah memudahkan pembahasan dan pengesahan sejumlah agenda, sesuai dengan kepentingan kelompok tersebut, termasuk soal pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menjelang akhir periode pertamanya, Jokowi dan DPR sepakat mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, hanya dalam kurang lebih dua pekan. Dalam aturan baru itu, KPK ditetapkan masuk ke rumpun eksekutif. Komisi ini bertanggung jawab pada presiden melalui dewan pengawas, yang juga dipilih oleh Jokowi sendiri.

Menurut pakar hukum tata negara Denny Indrayana, perubahan ini menjadi pintu masuk kontrol dari lembaga eksekutif terhadap KPK, seperti dilansir dari situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 2020. Praktik semacam ini pun tidak pernah ditemukan pada penegakan hukum di negara lain.

Labib Muttaqin dan Muhammad Edy Susanto (2018) dalam artikel “Mengkaji Serangan Balik Koruptor Terhadap KPK dan Strategi Menghadapinya” di jurnal Integritas juga mengatakan, keberadaan dewan pengawas di tubuh komisi antirasuah hanya akan “melemahkan independensi KPK.”

Tidak hanya itu, sebagai bagian dari lembaga eksekutif, DPR pun dapat menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan pada KPK, hanya untuk memenuhi kepentingan para anggota dewan.

Hal ini terjadi ketika DPR mengajukan hak angket terhadap KPK pada 2017, bahkan sebelum KPK jadi bagian dari eksekutif. Hak angket itu bertujuan meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR fraksi Hanura Miryam S. Haryani terkait kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Melansir Kompas.com, Komisi III DPR ingin mengetahui nama-nama anggota komisinya yang disebut Miryam telah menekan dirinya hingga ia mencabut berita acara pemeriksaan (BAP).

Lebih lanjut, Labib dan Edy berpendapat revisi UU KPK termasuk bentuk serangan balik koruptor pada KPK. Sebab, revisi itu kian menggerogoti kewenangan KPK untuk mengusut kasus korupsi di Indonesia.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira