Advertisement
Advertisement
Analisis | Fenomena Maraknya Kejahatan ‘Klitih’ di Yogyakarta Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Fenomena Maraknya Kejahatan ‘Klitih’ di Yogyakarta

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Karakter budaya masyarakat Yogyakarta yang dikenal ramah dan sopan santun seolah tercoreng dengan maraknya aksi "klitih". Aksi ini banyak dilakukan anak-anak muda di jalanan, dan menyerang orang tidak dikenal dengan senjata tajam. Fenomena ini sekaligus menggambarkan tingginya risiko tindak kejahatan yang menimpa warga Yogyakarta.
Vika Azkiya Dihni
5 April 2023, 09.20
Button AI Summarize

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka risiko penduduk terkena kejahatan di Yogyakarta mencapai 123 orang per 100.000 penduduk pada 2021. Angka ini merupakan tertinggi kedua setelah wilayah Polda Metro Jaya. Bahkan di tahun-tahun sebelumnya, wilayah Polda Yogyakarta memiliki angka risiko penduduk terkena kejahatan tertinggi. 

Kemiskinan Picu Kejahatan?

BPS mencatat Yogyakarta merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa, dengan tingkat kemiskinan mencapai 11,49% pada September 2022.

Tingkat kemiskinan di suatu daerah kerap dikaitkan dengan tingginya angka kejahatan di daerah tersebut. Namun data menunjukkan besarnya persentase warga miskin di suatu provinsi tidak selalu berbanding lurus dengan tingginya kejahatan di provinsi tersebut.

Meski warga miskin di Yogyakarta berbanding lurus dengan rasio tindak kejahatan, tetapi berbeda dengan provinsi lainnya. DKI Jakarta misalnya, yang memiliki risiko tingkat kejahatan tertinggi tapi tingkat kemiskinannya terendah di Pulau Jawa.

Begitu pula jika melihat data dari provinsi-provinsi lainnya. Misalnya persentase warga miskin di Nusa Tenggara Timur lebih besar dari Maluku, tetapi risiko tingkat kejahatannya jauh lebih rendah.

Bukan Kejahatan Baru di Yogyakarta

Aksi kejahatan klitih bukan hal baru kekerasan yang terjadi di Yogyakarta. Pada era 1970-an, anak muda di kota ini banyak membentuk geng yang familiar dengan nama Gabungan Anak Liar (Gali). 

Mereka merupakan sekelompok massa yang terorganisasi untuk melakukan pemerasan, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Pemerintah Orde Baru pada saat itu melakukan operasi rahasia untuk memberantas kejahatan dengan menangkap dan membunuh para preman yang tergabung dalam Gali.

Mayat-mayat banyak ditemukan di jalan Yogyakarta kala itu. Operasi militer tersebut dikenal dengan nama Petrus atau Penembak Misterius.

Tak hanya itu, tawuran antargeng juga marak terjadi setelah reformasi antara 2000-2010. Berbagai geng sekolah terbentuk di kota ini. 

Namun berbeda dengan tawuran yang mengetahui musuh yang akan dituju, para pelaku klitih justru kebanyakan menyerang orang tak dikenal. 

Menurut LM Psikologi UGM yang mengutip tulisan Santrock dalam buku A Topical Approach to Life-span Development Ninth Edition, selama masa remaja individu menghadapi permasalahan dalam menemukan identitas mereka. 

Motivasi pelaku klitih adalah untuk menyesuaikan diri mereka ke lingkungannya. Pelaku klitih merupakan remaja yang gagal mencapai identitas positif, sehingga mengalami kebingungan atas identitas mereka sendiri.

Z Pamungkas dalam penelitian bertajuk Fenomena Klitih sebagai Bentuk Kenakalan Remaja dalam Perspektif Budaya Hukum di Kota Yogyakarta (2018) mengungkap ada dua faktor yang menyebabkan maraknya aksi tersebut yaitu faktor lingkungan dan internal remaja.

Kurangnya kontrol diri dalam memilih lingkungan sebagai tempat untuk bersosialisasi sangat berperan penting dalam pembentukan perilaku remaja. Selain itu, maraknya aksi klitih di Yogyakarta juga disebabkan oleh faktor internal berupa masa pubertas yang berpengaruh pada ego dan rasa ingin tahu yang tinggi oleh remaja tersebut.

Latar belakang orang tua, masalah keluarga, hubungan dengan kelompok, hubungan dengan lingkungan, serta karakter individu juga sangat berpengaruh pada perilaku klitih di Yogyakarta.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira