Advertisement
Advertisement
Analisis | Jokowi 'Cawe-cawe' di Pilpres 2024, Bagaimana Rapor Demokrasi sejak Reformasi? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Jokowi 'Cawe-cawe' di Pilpres 2024, Bagaimana Rapor Demokrasi sejak Reformasi?

Foto: Joshua Siringo ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Pernyataan Jokowi bakal "cawe-cawe" dalam Pilpres 2024 menuai polemik. Hal itu menerbitkan kekhawatiran atas proses pemilu yang jujur dan adil, hingga ancaman terus menurunnya kualitas demokrasi pasca-25 tahun reformasi. Sejumlah indikator kebebasan sipil dan hak-hak berpolitik mengalami stagnasi. Salah satunya masih marak pelanggaran kebebasan sipil yang dilakukan aparat untuk merespons kritik publik.
Vika Azkiya Dihni
9 Juni 2023, 09.55
Button AI Summarize

Begitu juga dengan indikator budaya politik. Dari 5,63 pada 2010 menjadi 4,38 pada 2022. Budaya politik merujuk pada perilaku masyarakat dalam kehidupan bernegara, yang di dalamnya ada unsur hukum, norma, dan penyelenggaraan negara.

Dalam laporannya, EIU menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi yang lemah (flawed democracy). Negara dengan kategori ini ditandai adanya pemilihan umum dan menghormati kebebasan sipil, tetapi memiliki sejumlah masalah fundamental. Misalnya, kebebasan pers yang rendah, budaya politik antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.

Temuan EIU terhadap penurunan indeks demokrasi Indonesia serupa dengan indeks kebebasan yang disusun Freedom House, sebuah organisasi nirlaba yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat. Tren skor kebebasan di Indonesia terus turun dari 65 pada 2013 menjadi 58 pada 2023, dari skala penilaian 0-100.

Ada dua indikator kebebasan yang diukur oleh Freedom House, yakni kebebasan sipil dan hak-hak politik. Dari kedua indikator tersebut, Indonesia cenderung stagnan. Data ini menggambarkan kualitas ruang kebebasan masyarakat, yang merupakan elemen utama dalam demokrasi. 

Dari sejumlah data, terlihat lemahnya ruang kebebasan sipil terjadi seiring maraknya represi aparat terhadap kritik masyarakat. Selain itu, masih ditemukannya peraturan daerah yang dinilai membatasi kebebasan sipil. 

Dalam Publikasi Statistik Politik 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 94 aturan yang memiliki substansi membatasi kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, berpendapat, dan berkeyakinan. Peraturan-peraturan tersebut tersebar di 24 provinsi. Tiga provinsi terbanyak, yakni Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. 

Dalam lima tahun terakhir, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan sebanyak 965 pelanggaran kebebasan sipil. Meskipun terjadi penurunan pada 2021 dan 2022, KontraS mencatat represi negara terhadap kebebasan sipil terus meningkat. Termasuk lewat produk hukum yang dihasilkan, seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam catatan KontraS, aparat kepolisian mendominasi pelaku pelanggaran kebebasan sipil. Tindakan yang kerap dilakukan adalah pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, hingga penganiayaan. Tindakan ini mengakibatkan korban ditangkap, ada pula yang mengalami luka-luka hingga tewas.

Maraknya pelanggaran hak sipil dan respons aparat dalam menanggapi kritik terhadap pemerintah, menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Hukum (PSHK), menunjukkan Indonesia termasuk negara yang mengalami fenomena penyempitan ruang gerak masyarakat. Padahal ruang sipil atau civil space memungkinkan masyarakat sipil untuk mengambil peran dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.

Aktor masyarakat sipil yang dimaksud adalah warga negara, baik individu maupun kelompok. Mereka memiliki hak kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat, dan berdialog dengan pihak terkait isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka, sebut PSHK dalam studi yang dirilis Desember 2022.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira