Advertisement
Advertisement
Analisis | Anomali Kekalahan Ganjar di Kandang Banteng saat PDIP Menjuarai Pileg 2024 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Anomali Kekalahan Ganjar di Kandang Banteng saat PDIP Menjuarai Pileg 2024

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Perolehan suara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md keok di provinsi-provinsi yang menjadi basis PDIP selama bertahun-tahun. Sebaliknya, PDIP justru berhasil mengamankan posisinya sebagai partai peraih suara terbanyak. Bagaimana anomali ini bisa terjadi?
Leoni Susanto
28 Februari 2024, 21.25
Button AI Summarize

Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md menelan kekalahan telak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 14 Februari 2024 lalu. Hasil hitung cepat lembaga survei menunjukkan, tak ada satu provinsi pun yang berhasil dimenangkan pasangan nomor 03 tersebut. Bahkan di Jawa Tengah, di mana Ganjar pernah memimpin provinsi itu selama dua periode.

Tak hanya Jawa Tengah, Ganjar juga kalah telak di provinsi yang dikenal sebagai lumbung suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang mengusungnya sebagai calon presiden (capres). DI Yogyakarta, Bali, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara adalah kantong-kantong suara PDIP.

Pada Pemilu 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bersama partai pengusungnya PDIP berhasil memerahkan mayoritas provinsi di Indonesia. Berdasarkan hasil quick count Pemilu 2024 Poltracking Indonesia, PDIP juga tampak masih paling unggul di wilayah Jawa Tengah-DI Yogyakarta sebesar 26,6% dan Bali-Nusa Tenggara (23,6%).

Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Bali memang memiliki sejarah panjang sebagai basis PDIP. Sejalan dengan Pemilu 2019 di mana wilayah ini juga menjadi penyumbang suara untuk pasangan yang diusung PDIP, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun di Pemilu kali ini, pasangan Ganjar-Mahfud tidak berhasil mengamankan suara di tiga provinsi ini. 

Menurut hasil quick count Centre for Strategic and International Studies (CSIS), basis tradisional PDIP seperti Jawa Tengah, Bali, hingga Sulawesi Utara berhasil dibobol pasangan 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dengan selisih suara yang lebar. 

Jika dibedah per kabupaten/kota berdasarkan real count per 26 Februari 2024, di Jawa Tengah misalnya, dari total 35 kabupaten/kota, Ganjar hanya memenangkan suara di Kabupaten Wonogiri (46,9%) dan Kabupaten Boyolali (49,5). Kabupaten/kota sisanya dimenangkan oleh Prabowo-Gibran termasuk kabupaten/kota Mataraman lain yang notabene disebut basis kuat PDIP yang susah ditembus. 

“Ganjar bahkan kalah di kabupaten kelahirannya, Karanganyar. Itu kan sebetulnya mustahil,” kata Made Supriatma, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, kepada Katadata.co.id, Selasa, 27 Februari. 

Di Bali, Ganjar berhasil memenangkan suara di Kabupaten Tabanan (60,2%) dan Kabupaten Gianyar (49,8%). Sedangkan di DI Yogyakarta, Ganjar tidak memenangkan suara di satu kabupaten/kota manapun.

Made menyebut bahwa dua kabupaten di Bali ini memang adalah bentengnya PDIP. “Tapi Ganjar kalah di lumbung PDIP paling besar, yaitu di Buleleng. Di Buleleng itu selalu menentukan pemilihan gubernur di Bali. Gubernur di Bali hampir selalu dari Buleleng,” kata Made.

Efek Terpecahnya Basis Suara PDIP

Elektabilitas Ganjar memang terus mengalami penurunan, utamanya sejak Gibran, putra sulung Jokowi yang menjabat sebagai Walikota Surakarta sekaligus kader PDIP resmi menjadi pendamping Prabowo. Suara PDIP perlahan-lahan terpecah, termasuk saat Jokowi mulai menunjukkan keberpihakannya pada Prabowo-Gibran secara gamblang.

Hal ini terlihat dari basis suara PDIP yang memilih Ganjar-Mahfud terus mengalami penurunan sejak Oktober 2023. Sebaliknya, suara untuk Prabowo-Gibran terus mengalami peningkatan. Artinya, ada perpindahan suara basis PDIP dari Ganjar-Mahfud ke Prabowo-Gibran.

Sebelum penetapan cawapres, sebanyak 81,7% suara pemilih PDIP berlabuh ke Ganjar. Pada hasil exit poll Indikator Politik Indonesia 14 Februari 2024 lalu, basis suara PDIP yang memilih Ganjar menurun hingga 58,4%. 

CSIS menyoroti adanya split-ticket voting. Survei CSIS pada 13-18 Desember 2023 menunjukkan hanya 64,8% dari total pemilih PDIP yang mengaku memilih Ganjar-Mahfud. Sedangkan sebanyak 25,4% pemilih PDIP memilih Prabowo-Gibran. 

Hal ini berbeda dengan Pemilu 2019 dimana split-ticket voting tidak terjadi. Pada Pemilu 2019, sebanyak 88,8% pemilih PDIP memilih pasangan calon (paslon) yang diusungnya, yaitu Jokowi-Ma’ruf.

“Suara pemilih PDIP tidak solid betul terhadap Ganjar-Mahfud. Suara PDIP masih mendominasi seperti di Jateng, Bali, Sulawesi Utara. Tetapi Ganjar-Mahfud kalah di tiga daerah ini. Sebagian split ke memilih Prabowo-Gibran,” kata Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa, 27 Februari.

Mesin Partai tidak Mampu Mengerek Suara Ganjar-Mahfud

Made Supriatma juga menyoroti bagaimana faktor PDIP tidak mampu mengerek suara Ganjar. Hal ini terlihat dari suara PDIP pada Pemilu 2019 ke 2024 yang cenderung stabil di tiga provinsi yang menjadi kadang banteng. Kebalikannya, suara pasangan yang diusung pada tahun yang sama mengalami penurunan yang signifikan. 

Suara PDIP di Jawa Tengah misalnya pada Pemilu 2019 dan 2024 berada di kisaran 27% - 29%. Di sisi lain, suara paslon yang diusung PDIP yaitu Jokowi pada 2019 dan Ganjar pada 2024 mengalami penurunan, dari 77,2% menjadi 34,4%. Tren yang serupa juga terjadi di DI Yogyakarta dan Bali. 

Berdasarkan exit poll Poltracking Indonesia, salah satu alasan pemilih Ganjar-Mahfud adalah karena faktor partai pengusungnya, yaitu PDIP dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini menunjukkan bahwa suara Ganjar masih banyak dipengaruhi PDIP. Yang juga berarti dengan terpecahnya suara PDIP, efek partai terhadap Ganjar pun turut melemah.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira


Button AI Summarize