Advertisement
Advertisement
Analisis | Anomali Kekalahan Ganjar di Kandang Banteng saat PDIP Menjuarai Pileg 2024 Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Anomali Kekalahan Ganjar di Kandang Banteng saat PDIP Menjuarai Pileg 2024

Foto: Katadata/ Ilustrasi/ Bintan Insani
Perolehan suara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md keok di provinsi-provinsi yang menjadi basis PDIP selama bertahun-tahun. Sebaliknya, PDIP justru berhasil mengamankan posisinya sebagai partai peraih suara terbanyak. Bagaimana anomali ini bisa terjadi?
Leoni Susanto
28 Februari 2024, 21.25
Button AI Summarize

Alasan lain mengapa memilih Ganjar-Mahfud adalah karena mereka dianggap sosok yang merakyat (34,5%). Namun, menurut survei CSIS, pada Pemilu 2024 terjadi penurunan selera pemilih yang memilih faktor “merakyat/sederhana” dari 37,9% pada Pemilu 2019 menjadi 24,9% pada Pemilu 2024. 

Faktor merakyat dan sederhana ini sebelumnya adalah salah satu faktor kemenangan Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. 

Di sisi lain, pada Pemilu 2024 ini faktor “pemimpin kuat” alias tegas/ berwibawa” tampak mengalami peningkatan dari 16,4% pada Pemilu 2019 menjadi 23% pada Pemilu 2024. Menurut exit poll Poltracking Indonesia, imej tegas ini adalah salah satu faktor paling besar keterpilihan Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024.

Tidak Ada Efek Ekor Jas

Menurut exit poll Indikator Politik Indonesia, ketika pemilih ditanya kapan menentukan pilihan partai atau calon partai, banyak basis Ganjar-Mahfud yang menjawab sudah sejak dulu, sekitar setahun atau lebih dari setahun yang lalu (40,4%). Hal ini dapat diartikan pemilih mendukung siapapun yang diusung PDIP bahkan ketika Ganjar-Mahfud belum diumumkan secara resmi maju dalam Pemilu 2024.

Efek ekor jas atau coattail effect adalah kondisi di mana suara yang didapat dalam pemilihan presiden berpengaruh terhadap pemilihan legislatif. Artinya, suara capres yang diusung suatu partai mampu mendongkrak atau berjalan linier dengan suara partai yang mengusung.

Jokowi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 disebut mampu mendongkrak suara PDIP dari 14,03% di Pemilu 2009 menjadi 18,95% di Pemilu 2014. Angkanya terus merangkak naik hingga 19,33% di Pemilu 2019.

Namun dalam Pemilu 2024, efek “ekor jas” tampak tidak berlaku pada capres-cawapresnya. Ganjar-Mahfud tidak mampu mendongkrak suara PDIP dan sebaliknya. Begitu pula dengan paslon lain, seperti Prabowo-Gibran yang juga dinilai tidak mampu mendongkrak suara partai pengusungnya, Gerindra. Begitu pula dengan paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar terhadap PKB.

Faktor Jokowi

Di sisi lain menurut data exit poll, masa kampanye terbuka sekitar dua pekan sebelum Pemilu 2024 menjadi periode Prabowo-Gibran mengumpulkan basis suara, tertinggi dibandingkan paslon lain. Setidaknya 13,3% basis suara Prabowo-Gibran menentukan pilihannya pada periode tersebut. 

Basis ini kuat kemungkinannya ditarik karena faktor gencarnya Jokowi secara terbuka mendukung Prabowo-Gibran, termasuk di wilayah kandang banteng.

Salah satu yang menarik dari hasil sementara real count KPU per 23 Februari adalah pengambilalihan suara mayoritas Kota Surakarta oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kota Surakarta yang sempat dipimpin oleh Jokowi dan Gibran termasuk dalam daerah Mataraman yang dikenal sebagai daerah basis kuat PDIP.  

Pada Pemilu 2024 ini, data menunjukkan PSI yang saat ini diketuai oleh anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, unggul mengalahkan PDIP (26,9%). Kabupaten Sukoharjo juga berhasil dibobol Partai Gerindra yang unggul 24,5%.

Sebagai informasi, PSI adalah salah satu pengusung Prabowo-Gibran. Walaupun secara nasional efek Jokowi tidak terlalu signifikan mendongkrak suara PSI dalam mengamankan kursi parlemen, tetapi apa yang terjadi di Surakarta ini patut menjadi catatan seberapa kuat efek Jokowi dalam mendongkrak suara pengikutnya.

Menurut Made Supriatma, Surakarta adalah daerah simbolik untuk Jokowi dan keluarga yang kemudian menjadi target untuk diamankan suaranya dalam Pemilu 2024 ini. “Padahal Surakarta itu daerah ‘merah’ sekali. Ini daerah PDIP selama bertahun-tahun. Bahkan saat Orde Baru dan Golkar berkuasa, suara PDIP masih tinggi. Kalau ini bisa dikalahkan oleh PSI, ini anomali. Mesin apa yang bekerja di sini?” kata Made.

Made Supriatma menyebut salah satu efek dari kekuatan petahana (the power of incumbency) yang dijalankan oleh Jokowi adalah lewat pemberian bansos serta berbagai kebijakan seperti merapel kenaikan gaji tunjangan pensiunan selama tiga bulan, menaikkan gaji ASN, polisi, dan militer sebanyak 12%. Langkah ini telah menimbulkan dampak yang sangat besar dalam membangun dukungan untuk Prabowo-Gibran.

Menurut catatan Katadata.co.id, setidaknya sepanjang Januari 2024 Jokowi melakukan kunjungan ke sejumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah selama enam hari dan DI Yogyakarta selama empat hari, berdekatan dengan jadwal kampanye Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Beberapa kunjungan Jokowi juga diiringi dengan pemberian bantuan seperti bantuan pangan cadangan beras pemerintah, bantuan Program Indonesia Pintar, hingga BLT El Nino.

Selain bansos, Made juga menyoroti bagaimana kekuatan aparat digerakan Jokowi untuk memenangkan Prabowo-Gibran di kandang-kandang banteng.

“Studi menunjukkan ada efek penerima bansos dan kunjungan Jokowi suaranya ke Prabowo-Gibran. Tetapi jauh lebih signifikan itu keterlibatan aparat. Kalau misalnya Jokowi kampanye, itu masih memberi kebebasan orang untuk memilih. Tapi ketika Anda masuk ke ranah aparat, kita membentengi untuk tidak bisa (memilih),” kata Made.

Kekalahan Ganjar di kabupaten kelahirannya di Karanganyar adalah bagian dari campur tangan aparat yang dimaksud Made. “Operasi di Karanganyar sudah digarap duluan sejak November 2023 lewat pemanggilan kepala-kepala desa oleh aparat. Tidak ada kepala desa yang berani memilih Ganjar,” kata Made.

Tekanan aparat juga sampai pada calon-calon legislatif PDIP di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. “Caleg-caleg PDIP terancam. Mereka tidak berani berkampanye untuk Ganjar. Ganjar tidak bisa membangun koalisi, bahkan di dalam partai itu sendiri. Makanya suaranya jeblok,” kata Made.

Di sisi lain, peneliti CSIS Arya Fernandes juga menyebut bahwa caleg-caleg PDIP sudah terdistraksi setelah melihat melemahnya tren elektabilitas Ganjar-Mahfud. Untuk mengamankan posisi mereka, para caleg ini akhirnya tidak fokus pada pilpres melainkan melakukan kampanye untuk diri mereka sendiri demi mendapatkan kursi.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira