Advertisement
Analisis | Harga Telur Melonjak, Siapa Terdampak? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Harga Telur Melonjak, Siapa Terdampak?

Foto: Katadata/ Bintan Insani
Harga telur dan daging ayam naik seiring kian massifnya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, masyarakat miskin jadi terdampak kenaikan harga pangan yang menjadi sumber protein termurah dan mudah dijangkau tersebut.
Reza Pahlevi
2 Desember 2025, 10.49
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Telur dan daging ayamaadalah sumber protein hewani yang paling mudah dijangkau masyarakat. Harganya yang relatif murah dan tersedia di warung maupun pasar tradisional dan modern. Namun, kenaikan harga kedua bahan pangan tersebut mengancam akses masyarakat untuk memenuhi kecukupan gizi.

Ironisnya, harga kedua bahan pangan mengalami kenaikan seiring makin masifnya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program yang ditujukan untuk anak sekolah, ibu hamil dan menyusui, serta balita tersebut bertujuan untuk meningkatkan gizi dan mencegah tengkes alias stunting pada anak-anak. 

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), telur dan daging ayam mengalami inflasi masing-masing sebesar 4,43% (yoy) dan 1,3% pada Oktober 2025. Inflasi terutama didorong program MBG, terutama sejak semester II seiring melonjaknya penyerapan anggaran MBG yang meningkatkan jumlah SPPG dan anak penerima manfaat.

Wakil Ketua BGN Nanik Sudaryati Deyang khawatir harga kedua bahan pangan tersebut akan terus mengalami kenaikan. Hal ini karena jumlah SPPG baru sekitar 50% dari target akhir tahun.

“Jika produksi bahan makanan tidak ditingkatkan, risiko inflasi akibat program MBG dapat meningkat,” kata Nanik dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin, 17 November 2025.

Kenaikan harga ini dikeluhkan masyarakat. Salah satunya Eva (34) warga Kecamatan Teriak, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Dia mulai membatasi pembelian telur untuk keluarganya. Jika sebelumnya dia membeli telur satu kilogram, kini mulai membatasi pembeliannya seiring kenaikan harga dua bulan terakhir.

Mengutip data Kementerian Perdagangan, harga telur di Kabupaten Bengkayang mencapai rata-rata Rp33.000 per kilogram pada November 2025. Ini melonjak 16,6% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

“Kalau lagi naik begini, saya belinya sebutuhnya saja, tidak sampai sekilo. Paling setengah kilo, atau beberapa butir saja,” kata Eva kepada Katadata, Kamis, 27 November 2025.

Sebagai alternatif, dia memenuhi kebutuhan protein keempat anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar dari ikan sungai, seperti gabus dan nila. Ikan-ikan ini dia ambil dari lahan sawah yang menganggur. Namun, Eva tidak lagi bisa melakukannya lagi karena Bengkayang sudah memasuki musim panen.

“Nggak lagi bisa menangkap ikan, apalagi sekarang harga telur lagi naik,” kata Eva.

Pentingnya Protein Hewani

Dibandingkan sumber protein hewani lain, seperti daging sapi dan susu, masyarakat cenderung memilih telur dan daging ayam. Kandungan proteinnya pun tinggi dan yang terpenting lebih murah. 

Telur mengandung 12,6 gram protein per 100 g. Dengan rata-rata harga Rp32.400 per kg, artinya masyarakat hanya mengeluarkan Rp256 per 1 gram protein. Sementara daging ayam hanya Rp147 per 1 gram protein.

Sebenarnya, menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) konsumsi protein per kapita Indonesia mencapai 62,78 gram per hari. Angka ini sudah di atas rekomendasi Kemenkes sebesar 57 gram per hari. 

Namun, porsi protein hewani masih rendah. Hanya seperempat atau sekitar 25,6% dari total konsumsi protein. Sebuah penelitian menunjukkan proporsi protein hewani idealnya 45%-60% untuk memenuhi rekomendasi gizi (Vieux dkk, 2022).

Pemenuhan protein hewani ini juga penting dalam pencegahan stunting. Penelitian di Asia Selatan menunjukkan konsumsi protein hewani per hari dapat mengurangi prevalensi stunting hingga 3,3% (Headey, 2018). Tidak hanya untuk anak, konsumsi protein hewani untuk ibu hamil juga penting dalam mengurangi kemungkinan stunting.

Masyarakat Pengeluaran Rendah Paling Terdampak

Kenaikan harga telur dan ayam yang tidak terkendali dapat mempersulit usaha mengurangi prevalensi stunting di Indonesia. Terutama, bagi kelompok masyarakat berpenghasilan miskin. 

Data memang menunjukkan pemenuhan protein harian secara nasional sudah di atas rekomendasi gizi. Namun, bagi kelompok masyarakat di kuintil terendah, itu belum terjadi. 

Masyarakat dalam kuintil 1 hanya mengonsumsi 47,2 gram protein per hari, 10 gram lebih rendah dari rekomendasi Kemenkes. Sementara, masyarakat dalam kuintil 2 mengonsumsi 55,7 gram protein per harinya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, semakin rendah pengeluarannya, semakin kecil juga konsumsi protein hewaninya. Jika dilihat dari porsi pengeluarannya, beban pengeluaran untuk protein hewani pada masyarakat kuintil rendah juga lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat kuintil terkaya. 

Lebih tingginya beban pengeluaran masyarakat kuintil rendah untuk membeli protein hewani menyebabkan mereka lebih sensitif terhadap perubahan harga. Penelitian di Indonesia (Nikmatul dkk, 2020) menunjukkan setiap kenaikan harga 1% menurunkan konsumsi telur 8% dan ayam 15,6%.

Sensitivitas kenaikan harga pada masyarakat kuintil 1 paling tinggi, kenaikan harga 1% dapat menurunkan konsumsi telur 9,1% dan daging ayam 25,4%. Sementara, dampaknya terhadap kuintil teratas hanya menurunkan konsumsi telur 6,3% dan daging ayam 12%.

Wakil Kepala BGN Nanik Deyang mengatakan, perlu ada kepastian pasokan bahan baku agar inflasi telur dan ayam dapat terkendali. Jika tidak, ini berpotensi menjadi masalah untuk masyarakat bukan penerima MBG. “Rakyat yang tidak menerima MBG atau rakyat lain bisa menjerit,” katanya.

Pemerintah sudah menyiapkan beberapa hal untuk menjaga pasokan pangan. BGN berencana meminta ahli gizi di setiap SPPG melakukan diversifikasi menu. Menu dapat menyesuaikan harga dan stok makanan di setiap daerah.

Selain itu, Kementerian Dalam Negeri meminta setiap pemerintah daerah mengawasi perubahan permintaan dan harga pangan dari berjalannya MBG. Menurutnya, perlu ada pemetaan bulan terkait kebutuhan yang dapat membantu jika pasokan berkurang.

Ekonom senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Vid Adrison merekomendasikan perubahan sistem target penerima MBG. Program ini jangan dilakukan secara universal. 

MBG seharusnya ditargetkan untuk anak dan ibu hamil di keluarga berpengeluaran rendah atau targeted. Tidak hanya lebih hemat anggaran, dampak kenaikan harga dari program yang menjadi targeted lebih kecil.

“Anggaran yang dihemat dari mengubah program menjadi targeted berarti pemerintah masih punya dana untuk membantu kelompok miskin lewat BLT (bantuan langsung tunai),” kata Vid kepada Katadata, Senin, 1 Desember 2025.

Menurutnya, walaupun ada kenaikan harga pangan, dampaknya terhadap daya beli masyarakat dapat diredam dengan pemberian BLT. Akses gizi untuk masyarakat berpengeluaran rendah pun masih dapat dipenuhi.

Editor: Reza Pahlevi


Buka di Aplikasi Katadata untuk pengalaman terbaik!

icon newspaper

Tanpa Iklan

Baca berita lebih nyaman

icon trending

Pilih Topik

Sesuai minat Anda

icon ai

Fitur AI

Lebih mudah berbagi artikel

icon star

Baca Nanti

Bagi Anda yang sibuk