Advertisement
Advertisement
Analisis | Seberapa Besar Peluang Bukit Algoritma Jadi Silicon Valley Indonesia? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Seberapa Besar Peluang Bukit Algoritma Jadi Silicon Valley Indonesia?

Foto: Ilustrasi: Joshua Siringo Ringo/ Katadata
Silicon Valley di Amerika Serikat lahir berkat adanya ekosistem yang saling berkolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi. Ada sejumlah tantangan yang bakal dihadapi Indonesia untuk mewujudkan mimpi membangun Bukit Algoritma sebagai pusat industri teknologi seperti Silicon Valley.
Author's Photo
28 April 2021, 06.15
Button AI Summarize

Mimpi Indonesia melakukan lompatan revolusi industri 4.0 ingin diwujudkan dengan membangun Bukit Algoritma. Mega proyek infrastruktur senilai Rp 18 triliun di Cikidang, Sukabumi, Jawa Barat itu diangankan oleh para penggagasnya sebagai Silicon Valley versi Indonesia.

Silicon Valley di Amerika Serikat adalah episentrum teknologi dunia saat ini. Perusahaan-perusahaan teknologi, seperti Facebook, Google, Apple, Twitter, serta berbagai perusahaan rintisan (startup) memiliki kantor pusat di sana. Ada sejarah panjang lahir dan perkembangan Silicon Valley hingga saat ini.

Mengutip SVNJ Working Paper (2015), Silicon Valley lahir dari simbiosis mutualisme antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah.

Sederhananya, pemerintah dan industri menyumbang dana guna melakukan penelitian besar di universitas. Jika riset berhasil, maka teknologi dan penemuan kemudian dipatenkan. Setelah itu properti intelektual tersebut akan dikomersialkan, sehingga memberi pendapatan bagi universitas.

Akankah Bukit Algoritma menjadi pusat riset sekaligus industri teknologi digital di Indonesia? Ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia. Tentunya hal ini lebih dari sekadar membangun infrastruktur Bukit Algoritma. 

Rendah Dukungan Riset

Persoalan utama yang bakal dihadapi Indonesia adalah riset. Persoalannya, dukungan dana untuk melakukan penelitian dan pengembangan (research and development/ R&D) di Indonesia termasuk rendah.

Data UNESCO Institute for Statistics (UIS) menyebutkan, alokasi anggaran R&D Indonesia hanya 0,22% terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar US$ 7,05 miliar pada 2018. Anggaran Indonesia terpaut jauh dari Korea Selatan yang mengalokasikan sebesar 4,5% PDB sebesar US$ 98,45 miliar. Sementara Singapura mengalokasikan 1,9% PDB sebesar US$ 10,26 miliar pada 2017.

Selain rendah, alokasi anggaran riset Indonesia tersebar di 52 kementerian/ lembaga (K/L). Hal ini, seperti diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebabkan kegiatan riset cenderung tidak memiliki fokus. Dana yang yang benar-benar digunakan untuk kegiatan riset pun terbatas.

“Jika (dana riset) dikelola oleh K/L yang mindset-nya hanya birokratis, maka anggaran yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” ujarnya seperti dikutip dari laman Kementerian Keuangan.

Rendahnya anggaran turut berdampak pada jumlah peneliti. Berdasarkan data UNESCO, Indonesia rata-rata hanya memiliki 216 peneliti per satu juta populasi. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu yang terendah di Asia.

Kapasitas riset yang rendah juga terlihat dari kualitas perguruan tinggi. Berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan QS, perguruan tinggi Indonesia tidak ada yang masuk dalam 100 besar dunia. Universitas Gadjah Mada (UGM) hanya berada di peringkat 254 pada 2021. Sedangkan Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) masing-masing di posisi 305 dan 313.

Salah satu indikator penilaian QS adalah kualitas riset di masing-masing perguruan tinggi yang dilihat dari tingkat sitasi hasil riset akademisinya. Rata-rata skor sitasi fakultas di tiga perguruan tinggi terbaik Indonesia itu hanya 2,6 poin. Skor tersebut terpaut jauh dari rata-rata skor 10 universitas terbaik dunia yang sebesar 86,3 poin. Bahkan skor Indonesia belum sebanding dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik Asia yang nilainya 66,5 poin.

Dari kedua indikator ini, Indonesia menghadapi tantangan yang besar untuk memperbaiki iklim riset. Apalagi pemerintah menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan meleburkannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Yanuar Nugroho, penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) berpendapat, peleburan tersebut berpotensi menimbulkan masalah. Persoalannya, kata dia, ada perbedaan filosofi antara penelitian dan pendidikan. Penelitian adalah pendampingan untuk membangun kemampuan berpikir, menelisik, dan membangun penjelasan.

“Artinya urusan riset. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi lebih dari sekadar urusan anggaran, laboratorium, dan publikasi jurnal.” Katanya seperti dikutip dari Katadata.co.id.

Sementara filosofi pendidikan adalah pendampingan untuk pembentukan selera, hasrat, dan kebiasaan yang lebih dari sekadar urusan kurikulum, buku, dan guru. Sehingga, menurutnya, kedua urusan tersebut semestinya ditangani oleh lembaga terpisah.

Lebih lanjut, Yanuar menilai, pembubaran Kemenristek menyebabkan arah pengembangan riset di tanah air menjadi tidak jelas. Apalagi pembubaran Kemenristek karena hanya ingin memberi ruang bagi kementerian investasi. Riset seolah tidak menjadi prioritas, karena karpet merah hanya digelar untuk investasi karena dianggap kunci untuk mengejar kemajuan ekonomi.

Halaman:

Editor: Aria W. Yudhistira