Suap PLTU Riau, Bos Blackgold Johannes Kotjo Divonis 2 Tahun 8 Bulan

Muchamad Nafi
13 Desember 2018, 15:14
Johannes Kotjo
Katadata

Pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo divonis dua tahun delapan bulan penjara. Selain itu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mendendanya Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan dalam kasus proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1.

Ketua majelis hakim Lucas Prakoso menyatakan Johannes terbukti menyuap Anggota Komisi VII DPR Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih senilai Rp 4,75 miliar. “Mengadili, menyatakan terdakwa Johanes Budisutrisno Kotjo telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi,” kata Lucas di Jakarta, Kamis, (13/12/2018).

Putusan itu lebih rendah dibanding dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa menuntut agar Johannes divonis empat tahun penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.

(Baca: Kasus PLTU Riau, Eni Saragih Didakwa Terima Suap Rp 4,75 Miliar)

Menurut hakim Lucas, hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa menambah panjang daftar anggota DPR RI yang terlibat tindak pidana korupsi. Adapun yang meringankan yakni terdakwa bersikap sopan, berterus terang, belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga, dan mengaku bersalah dan sangat menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya.

Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Majelis hakim juga mengabulkan permohonan Johannes untuk membuka sejumlah rekening yang diblokir KPK.

Permohonan pembukaan pemblokiran disampaikan oleh penasihat hukum terdakwa Johannes atas rekening-rekeningnya. “Memerintahkan penuntut umum KPK untuk mengajukan permohonan kepada Bank BCA agar bank tersebut mencabut pemblokiran terhadap rekening BCA tersebut,” kata hakim Lukas.

(Baca: KPK Tolak Permintaan Johannes Kotjo Jadi Justice Collaborator)

Kronologi Suap PLTU Riau

Menurut hakim, perkara ini bermula pada 2015 saat Johannes mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 sehingga ia mencari investor. Lalu, didapatlah perusahaan Cina yakni China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Johannes akan mendapat fee sebesar 2,5 persen atau sekitar US$ 25 juta dari perkiraan nilai proyek US$ 900 juta.

Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang pun mengajukan permohonan proyek itu kepada PLN pada 1 Oktober 2015. Dalam permohonan pengajuan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau, dia memohon PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN.

Setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan, Johannes menemui Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR saat itu Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PLN. Setya Novanto lalu memperkenalkan Johannes dengan Eni Maulani Saragih. Pada kesempatan itu, Setnya menyampaikan ekpada Eni agar membantu Johannes dan Kotjo akan memberikan fee yang kemudian disanggupi oleh Eni.

(Baca: Eni Saragih Juga Didakwa Terima Gratifikasi dari 4 Pengusaha Migas)

Pada 2016, Eni lalu mengajak Dirut PT PLT Sofyan Basir didampingi Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso menemui Setnov, demikian Setya biasa disapa, di rumahnya. Eni lalu memperkenalkan Johannes sebagai pengusaha yang tertarik menjadi investor PLTU MT RIAU-1 dengan Sofyan Basir pada awal 2017 di kantor PLN. Sofyan minta agar penawaran dikoordinasikan dengan Supangkat Iwan Santoso.

Pada 29 Maret 2017, IPP PLTU Paranap pun masuk RUPTL PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres Nomor 4 Tahun 2016 ditunjuk melaksanakan sembilan proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.

Lalu, sepanjang 2017 terjadi beberapa pertemuan antara Johannes, Eni Maulani, dan Sofyan Basir untuk mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan dengan cara penunjukkan langsung dengan msyaratkan PT PJB harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal 51 persen.

Setelah Setnov ditahan KPK dalam kasus KTP-e, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek kepada Idrus Marham sebagai Plt Ketua Umum Golkar saat itu. Eni menyampaikan kepada Idrus akan mendapat fee untuk mengawal proyek. Pada 25 September 2017, dia dengan sepengetahuan Idrus mengirim pesan whatsapp (WA) yang meminta uang sejumlah Sing$ 400 ribu dari Johannes.

Pada 15 Desember 2017, Eni pun mengajak Idrus menemui Johannes. Dalam pertemuan itu Johannes menyampaikan fee akan diberikan ke Eni jika proyek PLTU RIAU 1 berhasil terlaksana. Eni selaku bendahra munaslub Golkar pun meminta sejumlah uang kepada Johannes dengan alasan untuk perhelatan acara tersebut.

Uang sebesar Rp 4 miliar lalu diberikan kepada Eni secara bertahap melalui Tahta Maharaya di kantor Johannes yaitu pada 18 Desember 2017 sejumlah Rp 2 miliar dan pada 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar. Pada 27 Mei 2018, Eni mengirimkan WA lagi untuk meminta Rp 10 miliar guna keperluan pilkada suami Eni Maulani, Muhammad Al Khadziq, yang mencalonkan diri menjadi Bupati Temanggung yang akhirnya terpilih sebagai Bupati Temanggung 2018-2023 bersama Heru Ibnu Wibowo.

Namun, Johannes menolak dengan mengatakan “Saat ini cashflow lagi seret”. Pada 5 Juni 2018 Eni lalu mengajak Idrus menemui Johannes di kantornya di mana Idrus meminta Johannes memenuhi permintaan Eni dengan mengatakan “Tolong adik saya ini dibantu ... buat pilkada”.

(Baca: Kembalikan Rp 1,3 Miliar, Sinyal Eni Saragih Jadi Justice Collaborator)

Sofyan Basir pada 6 Juni 2018 akhirnya sepakat mendorong agar PLN dan PT PJBI menadantangani amandemen perjanjian konsorsium dengan catatan CHEC sepakat waktu pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD. Sehingga, pada 7 Juni 2018 di kantor PLN ditandatangani amandemen perjanjian konsorsium antara PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd untuk pengelolaan perusahaan proyek harus dilaksanadalam bentuk pengendalian bersama dan tunduk kepada hal khusus.

Pada 8 Juni 2018, Eni kembali meminta Idrus menghubungi Johannes agar Kotjo memberikan uang kepada Eni. Setelah mendapat pesan WA tersebut, Johannes lalu memberikan uang Rp 250 juta kepada Eni malalui Tahta Maharaya. Pada 3 Juli 2018, Eni melaporkan ke Sofyan bahwa Johannes berhasil berkoordinasi dengan CHEC. Eni juga melaporkan ke Idrus dan pembagian fee setelah proses kesepakatan proyek PLTU MT RIAU-1 selesai.

Pemberian uang ke Eni baru diberikan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp 500 juta melalui Audrey Ratna Justianty. Sesaat setelah Audrey menyerahkan uang itu kepada Tahta, petugas KPK mengamankan Kotjo, Eni Maulani, Tahta dan Audrey.

“Terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo memberikan uang kepada anggota DPR Eni Maulani Saragih dengan maksud untuk mempercepat mendapat proyek IPP PLTU Riau 1, di mana terdakwa punya dua kapasitas yaitu pertama sebagai pemilik PT BNR dan PT Samantaka Batubara dan kedua sebagai agen yang ditunjuk CHEC Ltd,” kata hakim.

Atas putusan itu, Johannes langsung menyatakan menerima. “Seperti dalam pledoi, saya menerima putusan ini, saya tidak mau banding,” ucap Johannes.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...