Gelombang Besar Transaksi Nontunai di Indonesia

Yuliawati
Oleh Yuliawati
7 Oktober 2019, 06:40
masyarakat tanpa tunai, cashless, fintech,
123RF.com/MANOONRUT RUNGSUKSRI
Ilustrasi pembayaran digital.

Bagi seorang pekerja milenial seperti Gustia, lupa membawa dompet saat keluar rumah bukanlah masalah. Asalkan dia mengantongi telepon genggam yang dilengkapi paket data internet.

Lewat telepon genggamnya, dia membayar berbagai transaksi secara digital. Mulai dari transportasi, makanan hingga minum kopi. "Tiga hari dalam seminggu, saya bisa bebas uang tunai," kata Gustia, beberapa waktu lalu.

Bukan sekadar alasan kemudahan atau praktis sehingga Gustia memilih pembayaran dengan dompet digital dari  layanan financial technology (fintech) pembayaran. Pendorong utamanya adalah aneka promo yang ditebar perusahaan fintech pembayaran. "Dalam sehari itu saya bisa hemat hingga Rp 62 ribu dibandingkan bila bayar pakai uang tunai," katanya.

Fenomana transaksi tanpa uang tunai (cashless) dan isi dompet yang lebih banyak kartu ketimbang uang, sudah makin jamak di tengah masyarakat dalam beberapa tahun  terakhir. Selain penggunaan kartu debit dan kartu kredit di mesin ATM maupun EDC (Electronic Data Capture), aplikasi pembayaran dan dompet digital makin masif digunakan untuk pembayaran transportasi, membeli makanan, hingga membayar aneka tagihan bulanan. 

(Baca: Persaingan Bisnis Dompet Digital Makin Ketat dan Mengerucut)

Berdasarkan data Bank Indonesia, transaksi uang elektronik tumbuh pesat dalam 10 tahun terakhir. Sepanjang 2018, volume transaksi sebanyak 2,92 miliar transaksi atau tumbuh 16.600 kali dibandingkan 2009.

Pertumbuhan nilai transaksi juga melesat. Sepanjang 2018, nilai transaksi Rp 47,19 triliun atau tumbuh 90,9 kali dari 2009 yang tercatat Rp 519 miliar.

Baik volume dan nilai transaksi tahun ini akan lebih tinggi dibanding 2018. Lihat saja, hingga Juli 2019, nilai transaksi sebesar Rp 69,04 triliun dengan volume transaksi mencapai 2,73 miliar.


Transaksi pembayaran digital di Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh. BI memperkirakan, transaksi melalui uang elektronik mencapai US$ 25 miliar pada 2023. Sementara Morgan Stanley meramal transaksi pembayaran digital di Indonesia berpotensi mencapai US$ 50 miliar pada 2027, terutama ditopang fintech pembayaran.

Riset Morgan Stanley berjudul Indonesia Banks: Fintech terhadap 1.582 responden pada awal tahun 2019, juga  menunjukkan 20% responden memilih menggunakan pembayaran digital dari perusahaan fintech dibanding milik bank, perusahaan telekomunikasi, atau e-commerce. Rata-rata transaksi melalui pembayaran digital mencapai Rp 600 ribu per bulan.

Responden memilih menggunakan pembayaran digital karena beberapa alasan, seperti tawaran promo atau cashback, kerja sama merchant dengan pembayaran digital, kemunculan sejumlah tempat parkir yang hanya menerima uang digital, hingga terciptanya ekosistem ramah konsumen.

(Baca: Perbankan dan Fintech Pembayaran, Bukan Lawan tapi Kawan)

Dipacu Pembayaran Digital

Layanan pembayaran digital di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak lebih 10 tahun lalu. Perintisnya adalah beberapa perusahaan operator telekomunikasi. Telkomsel merilis layanan T-Cash pada 2007, Indosat mengembangkan Dompetku setahun berselang, dan disusul XL yang meluncurkan XL Tunai pada 2012.

Ketika itu operator membangun layanan pembayaran digital berbasis teknologi USSD (Unstructured Supplementary Service Data). Teknologi dapat memenuhi pembayaran digital untuk isi ulang pulsa, pembayaran tagihan dan layanan remitansi atau pengiriman uang oleh perbankan.

Beberapa bank juga mengembangkan pembayaran digital dalam bentuk uang elektronik yang berbasiskan teknologi chip. Pada 2009, beberapa bank meluncurkan produk uang elektronik, di antaranya BCA dengan Flazz dan Bank Mandiri dengan e-money.

Sosialisasi Pembayaran Tap on Bus
Sosialisasi Pembayaran Tap on Bus (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)




Mulai 2010, penggunaan telepon seluler yang dilengkapi internet semakin besar di Indonesia.  Layanan pembayaran digital pun mulai berkembang dalam bentuk aplikasi yang menggunakan teknologi berbasis server.

(Baca: Berguru Transaksi Nontunai ke Tiongkok dan Australia)

Pada 2012, CIMB Niaga meluncurkan aplikasi Go Mobile dengan fitur utama transfer ke dalam dan luar negeri, pembayaran tagihan, dan pengisian pulsa. Setahun kemudian, Blackberry meluncurkan BBM Money yang kemudian mati pada 2016.

Namun, pembayaran digital menemukan momentum dan mengalami akselerasi cepat ketika perusahaan e-commerce, marketplace, transportasi online hingga Super App semakin marak dan mengembangkan sendiri layanan financial technology (fintech) pembayaran.

Gojek memperkenalkan Gopay kepada publik pada 2016. Dengan beragam promo menggiurkan, pengguna Gopay bertambah cepat. Riset Mandiri Sekuritas menyebutkan, Gross Trasaction Volume (GTV) Gopay mampu melewati pemain lama seperti T-Cash dan E-money Bank Mandiri. Sebab,  Gopay mampu "mengikat" konsumen dengan berbagai layanan kebutuhan sehari-hari, terutama jasa transportasi yang disediakan Gojek.

(Baca: Penetrasi Go-Pay Harusnya Bisa Lebih Cepat daripada Alipay)

Meski beberapa perusahaan pembayaran digital yang lebih tua usianya mengubah bentuknya ke dalam aplikasi, tetap tak mampu menyaingi Gopay dalam menawarkan platform yang relevan dengan kebutuhan sehari-hari konsumen.

Riset iPrice Group dan App Annie menunjukkan, pengguna aktif bulanan GoPay merupakan yang terbanyak di Indonesia. Transaksi melalui dompet digital besutan Gojek itu tembus US$ 6,3 miliar atau sekitar Rp 89,5 triliun per Februari 2019.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...