Ekonom: Pajak Karbon PLTU Berpotensi Melonjakkan Tarif Listrik

Image title
8 Oktober 2021, 14:44
pajak karbon, pltu, batu bara, pembangkit listrik
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat.

Namun ada beberapa catatan yang perlu digaris bawahi soal mekanisme pajak karbon tersebut. Misalnya, hanya dengan membayar pajak karbon, perusahaan merasa telah andil dalam pengurangan emisi.

Padahal pencemaran yang dilakukan terus jalan, emisi karbonnya tetap naik. Kemudian terkait penggunaan hasil pajak karbon juga harus transparan. Peruntukannya harus jelas meski bentuknya pajak bukan cukai.

Hasil studi Fraser institute menunjukkan sebanyak 74% penggunaan dana hasil pajak karbon di berbagai negara justru lari ke belanja umum yang tidak berkorelasi dengan penurunan emisi karbon. Hanya 12% penerimaan pajak karbon yang dialokasikan khusus untuk lingkungan hidup.

Dalam UU HPP bab Pajak Karbon terdapat klausul "Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim". "Kata 'dapat' itu bisa jadi pasal karet yang sangat fleksibel. Misalnya hanya 10% untuk earmarking subsidi ke EBT sudah dianggap memenuhi syarat UU HPP. Jadi sangat longgar," kata Bhima.

Oleh sebab itu, dia mengimbau agar masyarakat mengawasi implementasi dari kebijakan ini. Mengingat masih ada celah penerimaan pajak karbon dialokasikan untuk sektor yang tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi.

Seperti diketahui, pajak karbon akan berlaku secara bertahap mulai April tahun depan sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan dalam Sidang Paripurna Kamis (7/10). Pajak ini akan mulai diberlakukan secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

"Penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap, serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy. Hal ini untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha tetapi tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly.

Menurut dia ketentuan pajak karbon ini berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Pajak akan diberlakukan bagi PLTU yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapkan.

Berdasarkan bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna hari ini, implementasi pajak karbon akan dimulai 1 April 2022 secara terbatas hanya ke sektor PLTU batu bara. Penerapannya nanti akan memakai skema cap and tax.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...