Sejarah Take or Pay yang Bebani PLN Rp 18 T Imbas Kelebihan Listrik

Happy Fajrian
27 September 2022, 16:38
listrik, pembangkit listrik, kelebihan pasokan, oversupply, pln
ANTARA FOTO/Jojon/wsj.
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). PLTU berkapasitas 2 x 50 megawatt yang dibangun PT Dian Swastika Sentosa Power Kendari dengan nilai investasi sekitar Rp2,6 triliun itu saat ini telah terkoneksi sampai di Sulawesi bagian barat dan Sulawesi selatan sementara untuk Sulawesi Tenggara wilayah kepulauan masih dalam tahap pembangunan menara tiang sutet.

Menurut Manajer Program Tranformasi Energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, kerugian dari skema take or pay tak hanya dari sisi ekonomi melainkan juga dari sisi lingkungan.

Menurut dia, skema take or pay diambil PLN akibat krisis ekonomi 1998 yang juga menyebabkan krisis pada produksi listrik karena PLN kesulitan membangun pembangkit listrik baru karena tak punya uang karena kontraknya yang dalam dolar AS menjadi lebih mahal imbas devaluasi rupiah dan sebagainya.

“Kebijakan take or pay untuk menarik investor dan pembangkit listrik independen untuk membangun pembangkit dan membantu pasokan listrik ke PLN,” ujarnya dalam Podcast di Atas Meja yang mengangkat tema "Take or Pay: Kebijakan yang Dipertahankan (PLN), Meski Kerap Merugikan", yang ditayangkan kanal YouTube Indonesia Corruption Watch pada 12 April 2022.

Meskipun pertumbuhan permintaan listrik pada awal-awal krisis melambat, namun pada 2004 ke atas sudah mulai pulih dan meningkat.

“Untuk menarik minat swasta membangun pembangkit listrik, skema yang ditawarkan adalah take or pay. Ibaratnya ada jaminan dari negara untuk membeli listrik sehingga yang mau jualan listrik jadi lebih tertarik,” ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa skema take or pay diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 yang direvisi menjadi Permen ESDM No.10 Tahun 2018 yang mengatur Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.

Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa take or pay listrik menggunakan kontrak jangka panjang, bahkan hingga 30 tahun, merupakan kontrak dari IPP generasi pertama pada 1992.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...