Faisal Basri Soroti Impor Pangan & Baja Penyebab Defisit Neraca Dagang

Martha Ruth Thertina
16 Januari 2019, 16:31
Pelabuhan ekspor
Katadata

Ia pun menegarai potensi rente atau untung dari bisnis gula boleh jadi mirip dengan praktek mafia migas–sungguh sangat menggiurkan. “Dengan harga eceran tertinggi Rp 12.500 per kilogram yang ditetapkan oleh pemerintah, tentu saja keuntungan yang diraup sangat menggiurkan, karena selisih harga enceran di dalam negeri dengan harga dunia rata-rata mencapai tiga kali lipat,” kata dia.

Pada gilirannya, ia menjelaskan, kondisi ini merugikan petani, karena para pedagang tentu saja enggan menyerap gula petani yang memang harganya lebih mahal. Akibatnya, petani kian enggan menanam tebu, mengakibatkan produksi gula nasional berpotensi turun atau setidaknya stagnan di kisaran 2 juta ton setahun.

Menurut dia, upaya maraup rente pernah juga dilakukan dengan ketentuan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan yang mewajibkan seluruh transaksi gula rafinasi melalui lelang. "Perusahaan yang ditunjuk berkantor di Gedung Artha Graha," kata dia. Adapun setiap ton yang ditransaksikan dikenakan ongkos administrasi sebesar Rp 85.000.

“Banyak lagi kutipan lainnya yang dibebankan kepada peserta tender. Pengguna gula rafinasi mengajukan keberatan. Setelah Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melayangkan surat “peringatan” akhirnya Menteri Perdagangan mencabut Permen wajib lelang,” kata dia.

Selain besi/baja dan gula, Faisal juga menyoroti kebijakan mengobral impor beras untuk stabilisasi harga guna meredam laju inflasi. Mengutip data BPS, ia memaparkan, impor beras selama Januari-November 2018 meningkat lebih dari 600%, dari hanya 0,3 juta ton pada 2017 menjadi 2,2 juta ton selama Januari-November 2018.

(Baca: Pemerintah Hitung Kebutuhan 2019, Ini Proyeksi Jumlah Impor Pangan)

Padahal, menurut BPS yang baru saja memutakhirkan data perberasan dengan teknologi canggih, pada 2018 Indonesia menikmati surplus 2,8 juta ton. Ia menyadari, sekalipun surplus, boleh jadi masih perlu impor karena panen beras tidak sepanjang tahun. Ada bulan-bulan yang produksinya sangat rendah, jauh di bawah tingkat konsumsi bulanan. “Namun, mengapa impor sedemikian banyak?” kata dia.

Ia juga mempertanyakan waktu mengimpor dalam jumlah besar yang dilakukan justru ketika musim panen, ketika produksi melebihi konsumsi. Sebaliknya, impor sangat rendah ketika sedang dalam kondisi defisit (produksi lebih rendah dari konsumsi), yaitu pada bulan Januari dan Oktober sampai Desember. “Akibatnya, lagi-lagi petani dirugikan, demikian juga konsumen,” kata dia.

Selain kebijakan seputar impor besi/baja,gula, dan beras, ia menyoroti inisiatif penggelembungan impor garam. Dengan alasan kelangkaan garam, terbit Peraturan Pemerintah (PP) yang tidak lagi mewajibkan rekomendasi impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rekomendasi impor cukup dari Menteri Perindustrian.

Menurut dia, setelah aturan itu terbit, Menteri Perindustrian mengeluarkan rekomendasi impor garam untuk setiap perusahaan lengkap dengan jumlah kuota volume impor masing-masing. Jumlah kuota impornya sebesar 3,7 juta ton untuk 2018. “Belakangan Dirjen yang mengurusi garam di Kemenperin mengakui angka itu tidak memperhitungkan produksi garam nasional,” kata dia.

Kelanjutannya, Presiden memanggil para menteri yang terkait dengan urusan garam. Sehari setelah pertemuan itu, Menperin mengumpulkan para pedagang yang memperoleh rekomendasi impor dan “perwakilan” petani garam. Dari pertemuan itu dihasilkan Memorandum of Understanding (MoU) berisi kesediaan para pedagang menyerap garam petani.

Namun, karena kemarau yang cukup panjang tahun lalu, produksi garam nasional melonjak, dari di bawah 1 juta ton tahun 2017 menjadi 2,7 juta ton tahun 2018. “Hingga akhir tahun lalu, garam petani yang belum terserap berkisar 800 ribu ton,” kata dia.

Faisal mengingatkan pentingnya membereskan problem-problem semacam ini yang membuat puluhan juta petani – yang bisa jadi sebagian di antaranya memilih Jokowi pada Pilpres 2014 -- menjadi korban. “Tidak ada kata terlambat walaupun memang waktunya kian mepet. Bersihkanlah lingkungan dekat Presiden dari para penunggang percuma (free rider) dan para pemburu rente,” kata dia.

(Baca: Dua Fokus Kebijakan Ekspor untuk Tekan Defisit Neraca Dagang)

Menurut dia, komitmen dan langkah tegas Presiden dalam menghadapi pada free rider dan pemburu rente bisa memunculkan kembali harapan para petani. Selain itu, menekan defisit transaksi berjalan bahkan mengembalikannya menjadi surplus. Dengan begitu, bisa menjinakkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

“Cara ini tokcer, berdampak “seketika”, tidak membutuhkan waktu selama serangkaian upaya pemerintah yang sudah dilakukan,” kata dia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...