Dikritik MPR, RUU Ketahanan Keluarga Dinilai Penuh Masalah

Sorta Tobing
5 Maret 2020, 15:31
RUU Ketahanan Keluarga, kontroversi ruu ketahanan keluarga, penolakan ruu ketahanan keluarga, pasal-pasal bermasalah ruu ketahanan keluarga
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendesak agar RUU Ketahanan Keluarga segera dicabut dalam daftar program legislasi nasional atau Prolegnas prioritas 2020.

Pasal 25 mewajibkan suami dan istri untuk melaksanakan norma agama. Ada lagi aturan mengenai hak dan kewajiban anak dalam pasal 101 ayat 2. Kewajiban itu antara lain menghormati orang tua, menunaikan ibadah sesuai ajaran agama dan melaksanakan etika serta akhlak mulia.

(Baca: Usulan DPR, Berikut Daftar Pasal Kontroversial RUU Ketahanan Keluarga)

Seluruh kewajiban itu sebenarnya bukan kewenangan negara karena berada di ruang spiritualitas seseorang. Negara pun tidak bisa melihat dan menguraikan konsekuensi atas pelanggaran kewajiban-kewajiban itu.

Karena itu, ICJR menilai RUU Ketahanan Keluarga justru membuat negara mengambil kewenangan agama. Spiritualitas dan kepercayaan seseorang sebaiknya tidak diatur sewenang-wenang dalam sebuah undang-undang.

Masalah kedua, RUU itu bertentangan dengan semangat kesetaraan gender. Pasal 25 ayat 2 dan ayat 2 mengurai kewajiban suami-istri secara berbeda. Suami disebut kepala keluarga, berkewajiban dalam aspek ketahanan keluarga, termasuk kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik.

Sementara istri diatur dengan kewajiban hanya di ranah domestik. Kewajiban itu antara lain mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, serta memperlakukan suami dan anak dengan baik. Lantas, bagaimana peran perempuan yang juga bisa berperan sebagai keluarga, memiliki fungsi dalam keluarga dan publik?

ICJR mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga merupakan kemunduran besar dalam upaya menyetarakan gender. Padahal sebelumnya sudah ada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender. Di dalamnya, terdapat arahan agar seluruh jajaran pemerintah menyusun kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender.

(Baca: LGBT Wajib Lapor, Ini Pasal Kontroversial RUU Ketahanan Keluarga)

Masalah ketiga, RUU tersebut rentan pelanggaran terhadap kelompok miskin. Misalnya, soal aturan ketahanan keluarga yang hanya dapat diwujudkan dalam ikatan perkawinan yang sah. Padahal, banyak keluarga miskin sulit mendapat akses pencatatan perkawinan.

Di dalam pasal 33 menyebutkan kewajiban setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan, gizi, kesehatan, sandang, dan tempat tinggal layal huni. Ada pula kewajiban mengikutsertakan anggota keluarga dalam jaminan kesehatan, tempat tinggal dengan sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi yang baik.

Lalu, RUU Ketahanan Keluarga juga mengharuskan setiap keluarga memiliki tempat tinggal dengan kamar yang terpisah antara laki-laki dan perempuan untuk mencegah kejahatan seksual. Semua aturan itu jelas sulit dipenuhi bagi keluarga tidak mampu. ICJR menilai, perumus RUU ini tidak mampu menguraikan konsep hubungan negara dan warganya dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...