Teknologi Blok East Natuna Baru Digunakan Lima Tahun Lagi
KATADATA - Teknologi khusus yang sedang disiapkan pemerintah untuk Blok East Natuna nampaknya belum bisa digunakan dalam waktu dekat. Teknologi untuk menciptakan tempat penyimpanan dan pengumpulan karbon atau carbon capture and storage (CCS) ini sekarang masih dalam tahap pengkajian dan uji coba.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan pemerintah mendapat dana bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) dan pemerintah Jepang untuk mengembangkan teknologi tersebut. Sayangnya dia tidak menyebut berapa dana yang didapatkan. Yang jelas, proyek percontohan akan dilakukan di Gundih. “Karena ini pengembangan teknologi butuh waktu yang panjang, lima sampai 10 tahun untuk siap implementasi skala besar,” kata Wirat kepada Katadata, Rabu, 2 Maret 2016. (Baca: Kontrak Blok East Natuna Masih Menunggu 2018).
Teknologi ini nantinya untuk mengembangkan lapangan minyak dan gas bumi yang memiliki kadar karbondioksida (CO2) tinggi seperti Blok East Natuna. Blok yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan ini diperkiraan memiliki volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf. Dari jumlah itu, kandungan gas CO2 begitu besar mencapai 70 persen.
Sampai saat ini, Blok East Natuna belum dikembangkan. Wirat pernah mengatakan jika menggunakan teknologi biasa, Blok ini baru menarik untuk dikembangkan ketika harga minyak di atas US$ 100 per barel. Sementara saat ini harga minyak jenis Brent di pasat spot sebesar US$ 36,63 per barel. Tapi harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) lebih rendah lagi, menyentuh level US$ 33,99 per barel.
Pengembangan teknologi ini juga didukung oleh Ketua Komisi Eksplorasi Nasional (KEN) Andang Bachtiar. Teknologi ini tepat untuk pengembangan Blok East Natuna. “Sangat cocok karena East Natuna mempunyai masalah dengan karbondioksida,” kata dia kepada Katadata. Dengan teknologi itu, karbondioksida yang diproduksi bersamaan dengan gas akan dipisahkan. “Setelah terpisah, karbondioksida itu akan diinjeksikan kembali ke dalam bumi,” ujar dia.
KEN juga pernah mengeluarkan usulan untuk pengembangan blok yang berada di sekitar East Natuna. Salah satunya adalah pengembangan bersama (joint development) antarblok-blok di sekitar East Natuna. Saat ini ada tujuh blok migas yang berada di sekitar Blok East Natuna. Yakni South Natuna Sea Block B yang dipegang oleh ConocoPhillips Indonesia, Tuna (Premier Oil Indonesia), dan NE Natuna (Titan Resources Indonesia Ltd). Kemudian North Sokang (North Sokang Energy), East Sokang (Ekuator Energy Sokang), South Sokang (Consortium Lundin South Sokang dan Salamander Energy), dan Sokang (Black Platinum Investment).
Meski ada beberapa blok migas di sana, fasilitas produksi di wilayah tersebut belum tersedia. Akibatnya, produksi dari delapan blok migas tersebut harus dibawa ke wilayah West Natuna. Masalahnya butuh infrastruktur pipa sepanjang 300 kilometer untuk menuju ke fasilitas produksi tersebut. (Baca: Perpanjangan Blok Natuna, di Antara Kepentingan Amerika dan Cina).
Namun dengan harga minyak dan gas bumi saat ini, pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sangat sulit mengembangkan wilayah kerjanya secara mandiri, karena jumlah cadangan di setiap KKKS sedikit. Jika dikerjakan bersama akan lebih menghemat biaya. Untuk usulan ini, Pertamina sebagai operator Blok East Natuna sudah sepakat dan akan didiskusikan dengan operastor di tujuh blok lainnya.