PBNU Kritik 5 Poin Pasal UU Cipta Kerja: Jangan Semua untuk Komersial

Yuliawati
Oleh Yuliawati
9 Oktober 2020, 11:21
Omnibus law, cipta kerja, kritik NU, PBNU, Said Aqil
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menyampaikan lima poin kritik atas UU Cipta Kerja.

Sehingga NU bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri.

"Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja," kata Said.

3. Tambang dan Lingkungan

NU menilai pemerintah menganakemaskan sektor ekstraktif dengan sejumlah insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang. Hal ini terlihat dari pengenaan tarif royalti 0% sebagaimana tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja, mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi.

Said mengatakan alih-alih mengubah isi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengokohkan dominasi negara dan oligarki, UU Cipta Kerja memperpanjang dan memperlebar karpet merah bagi pelaku usaha.

"Pemerintah bahkan mendispensasi penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang, yang jelas merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat," kata dia.

4. Kemandirian Petani

NU menganggap Pasal 64 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan berpotensi menjadikan impor sebagai soko goro penyediaan pangan nasional. Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.    

5. Sertifikasi Halal

NU menilai semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi, termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Said menyebut Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal akan  mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga.  

"Sentralisasi dan monopoli fatwa, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi," kata Said.

Said juga menyoroti kualifikasi auditor halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 yakni sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian. "Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas."

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...