Jejak Sikap Suhartoyo di Putusan MK, Pilpres 2019 hingga Cipta Kerja

Ade Rosman
9 November 2023, 16:47
Suhartoyo selaku Hakim dalam sidang permohonan PHPU Pilpres 2019 di gedung MK, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (18/6).
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Suhartoyo selaku Hakim dalam sidang permohonan PHPU Pilpres 2019 di gedung MK, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (18/6).

Selain itu, pada kesempatan yang sama, Suhartoyo pun mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam pembentukan UU Cipta Kerja, pasalnya model omnibus law tak dikenal di Indonesia.

"Soal kesiapan infrastruktur UU Cipta Kerja dan bagaimana membedah ekstensifikasi. Saya tahu ekstensifikasi itu kalau di pertanian sana. Nah apakah itu kemudian sebenarnya anda ingin menjawab bahwa UU 12/2020 belum siap? Untuk mengakomodir berkaitan dengan pembentukan UU yang berjenis omnibus law?" kata Suhartoyo.

Pendapat Berbeda Suhartoyo di  Uji Formil UU Cipta Kerja 

Pada 30 Desember 2022 presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Cipta Kerja tanpa didahului dengan revisi UU Cipta Kerja sebagaimana diamanat MK. Perppu itu kemudian bergulir dan disahkan DPR namun setelah melewati satu masa sidang. Pengesahan Perppu menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 mendapat penolakan berbagai pihak hingga digugat ke MK. 

Uji formil UU No 6/2023 diajukan lantaran para pemohon menilai proses penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU tidak sesuai dengan Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur, persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberikan pada masa persidangan berikutnya. Presiden menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 dan mengajukannya kepada DPR pada 9 Januari 2023 atau pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Namun, DPR baru menyetujui RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU pada 21 Maret 2023, bertepatan dengan Masa Persidangan IV 2022-2023.

Pada 2 Oktober 2023 saat MK memutus menolak 5 perkara uji formil UU Cipta Kerja. MK menetapkan bahwa UU Cipta Kerja sudah konstitusional. Namun, Suhartoyo bersama tiga hakim lainnya yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion. 

Unjuk rasa buruh di Surabaya
Unjuk rasa buruh di Surabaya (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/tom.)

Sikap Suhartoyo di Gugatan Usia Minimal Capres-cawapres

Suhartoyo merupakan salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan permohonan bernomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang dikabulkan sebagian. Suhartoyo menyatakan, permohonan yang diajukan mahasiswa Solo, Almas Tsaqibirru, tersebut tak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

Selain Suhartoyo, dalam perkara nomor 90 itu tiga hakim lain pun menyatakan dissenting opinion, mereka yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams. Ia konsisten mengatakan bahwa perkara batasan usia capres yang digugat pemohon dalam  pasal 169 huruf q Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 merupakan wilayah pembuatan Undang-undang. 

Sikap di Perkara Uji Materiil KUHP

Pada uji materi Undang Undang tentang KUHP, MK memutuskan tak dapat menerima permohonan pengujian ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.

Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah terkait Putusan Nomor 1/PUU-XXI/2023 mengatakan KUHP baru mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Sehingga, pemberlakuan demikian berakibat hukum undang-undang yang diujikan pada perkara ini belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga, kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon tidak terpenuhi sebagai syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007.

Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

 

Posisi Suhartoyo Saat Sidang Sengketa Pilpres 2019

Suhartoyo juga merupakan salah satu hakim konstitusi yang ikut memutus dalam sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 (PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 itu dimohonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden kala itu yang bernomor urut 02, yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.

Dalam perkara tersebut, Suhartoyo sempat meminta para pihak yang bersengketa tak memaksa hakim membuat keputusan. "Mahkamah secara bijaksana, cermat, saksama, berdasarkan argumentasi bangunan pertimbangan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak perlu mempersoalkan yang seperti ini," kata Suhartoyo dalam sidang.

Suhartoyo Setuju Uji Materi UU Perkawinan

Dalam perjalanan kariernya, Suhartoyo juga pernah turut mengadili Uji materi UU Perkawinan tentang perkawinan beda agama. Saat itu ia menjadi hakim yang menolak gugatan dengan mengajukan concurring opinion. 

Suhartoyo beranggapan negara tidak harus menutup mata tentang fenomena perkawinan beda agama. Menurut dia meski dianggap illegal dalam UU Perkawinan, hal tersebut sudah  banyak terjadi di masyarakat.

Saat itu Suhartoyo berharap pemerintah bersama DPR merevisi UU Perkawinan dan mengakomodasi fenomena perkawinan beda agama.  Menurut dia negara perlu hadir karena fenomena itu sudah banyak terjadi. Apalagi menurut dia urusan negara dalam persoalan pernikahan adalah berkaitan dengan pencatatan administrasi. 

Halaman:
Reporter: Ade Rosman
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...