Banyak Soal Membelit UMKM sehingga Hanya 15% yang Sukses Masuk Digital

Desy Setyowati
8 Oktober 2020, 14:15
Membedah Penyebab Hanya 15% UMKM yang Berhasil Merambah Digital
sentavio/123RF
Ilustrasi

Pemerintah gencar mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk merambah ekosistem digital saat pandemi virus corona. Namun, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat, tingkat keberhasilan UMKM digital hanya sekitar 15%.

“Dari data-data yang diperoleh saat pelatihan, yang bertahan hanya 5-15%,” kata Deputi Bidang Pembiayaan Kemenkop UKM Hanung Harimba Rachman kepada Katadata.co.id, Kamis (8/10).

Berdasarkan dokumen Bank Dunia bertajuk ‘Targeted SME Financing and Employment Effects’ pada 2017 pun menunjukkan, hanya sekitar 5-10% UKM secara global yang berpotensi untuk tumbuh lebih besar dan produktif, jika dibantu oleh pemerintah.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyampaikan, salah satu penyebab UMKM gagal merambah pasar digital karena minimnya pemahaman terkait teknologi. Oleh karena itu, edukasi pelaku usaha secara intens menjadi keharusan.

Penyebab kedua yakni UMKM lambat beradaptasi untuk menyesuaikan produk dengan minat konsumen. Ini karena pelaku usaha tidak memiliki kemampuan menganalisis kebutuhan pasar.

Hal senada disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun. “Lebih karena gagap teknologi, karena ini kan hal yang baru,” kata dia kepada Katadata.co.id, kemarin (7/10).

Meski begitu, ia mencatat bahwa tren pelaku UMKM masuk ke ekosistem digital meningkat selama pandemi corona. Utamanya dari sektor kuliner dan busana (fashion).

Kendati begitu, UMKM tidak dapat sepenuhnya merambah layanan online. “Omzetnya hanya 10-15% dari platform online. Paling tinggi 20%,” ujar Ikhsan.

Untuk itu, model bisnis yang memungkinkan dilakukan oleh pelaku UMKM yakni online to offline (O2O). Beberapa  e-commerce seperti Bukalapak dan Blibli menerapkan konsep ini, melalui warung dan agen.

Pemerintah mencatat baru sekitar 9,4 juta dari 60 juta lebih UMKM di Indonesia yang merambah layanan digital. Sedangkan jumlah pelaku usaha secara keseluruhan dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Ketiga, kurangnya pengetahuan menjalankan usaha online dan pemasaran produk di tengah ketatnya persaingan. Direktur Riset KIC Mulya Amri mengatakan, pelaku UMKM perlu beradaptasi untuk menjalankan operasional bisnisnya secara online.

Oleh karena itu, perlu ada pelatihan dan bimbingan. “Ini bertujuan mengembangkan kapasitas digital mereka," ujar Mulya dalam webinar bertajuk 'Digitalisasi UMKM: Tantangan dan Peluang', Agustus lalu (11/8).

Keempat, terbatasnya akses internet. Pada 2018, sekitar 5.300 desa atau 11% dari total wilayah di Indonesia belum terakses internet atau blank spot. Sebanyak 3.500 di antaranya berada di Papua.

Saat ini, kualitas internet di 12.548 desa juga dinilai belum baik, karena tidak terakses 4G. Sebanyak 9.113 berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), sehingga menjadi tanggungan pemerintah. Sedangkan 3.435 lainnya menjadi tanggung jawab operator seluler.

Kelima, keterbatasan peralatan dalam menjalankan operasional bisnis secara online. Berdasarkan survei KIC terhadap 206 responden, 15,5% UMKM di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) tidak memiliki ponsel pintar (smartphone).

Riset mencatat, 84% UMKM menggunakan ponsel dan 42,7% memakai laptop dengan koneksi internet untuk berjualan. Sedangkan 9,2% memakai laptop tanpa internet, dan 7,3% tidak mempunyai perangkat.

"Di Jakarta saja masih ada UMKM yang mempunyai smartphone, tetapi tidak memiliki pulsa. Tanpa pulsa, tentu mereka tidak bisa mengakses internet dan berjualan online," kata Mulya.

Padahal, pelaku usaha memanfaatkan gawai dan internet untuk berbagai kegiatan operasional, sebagaimana tecermin pada Databoks di bawah ini:

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...