Biden Ikuti Kebijakan Trump Hadapi Monopoli Big Tech AS dan Tiongkok
- Petinggi hingga karyawan raksasa teknologi AS mendukung Joe Biden ketimbang Trump
- Biden dikabarkan menunjuk dua mantan pejabat era Obama untuk menangani dugaan monopoli Google hingga Facebook
- Biden mengatakan, persaingan AS dan Tiongkok di bidang teknologi akan berlanjut
Raksasa teknologi seperti Twitter hingga Google mendukung Joe Biden dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS). Namun, Biden tampaknya bakal melanjutkan kebijakan Donald Trump terkait antimonopoli ‘big tech’ dan tekanan terhadap perusahaan Tiongkok.
Biden dan Kamala Harris akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden AS pada Rabu (20/1). Sumber yang akrab dengan kajian internal di Gedung Putih mengatakan, Biden mempertimbangkan adanya jabatan yang berfokus pada kebijakan persaingan dan antimonopoli.
“Belum ditentukan apakah ini akan menjadi semacam peran koordinator atau orang ini bakal menjabat di Gedung Putih,” kata sumber lain, dikutip dari Reuters, Rabu (20/1).
Trump sudah mengkaji antimonopoli raksasa teknologi saat menjabat. Subkomite Kehakiman Kongres AS bahkan telah menyelidiki dan merilis laporan terkait praktik monopoli yang diduga dilakukan oleh Google hingga Facebook.
Kini Biden tampaknya bakal melanjutkan kebijakan Trump tersebut, meskipun sejumlah petinggi di raksasa teknologi mendukungnya selama pilpres. Pada akhir pekan lalu, Biden dikabarkan merekrut dua mantan pejabat di era Barack Obama.
Kabarnya, keduanya akan menjabat di Departemen Kehakiman AS untuk menangani persoalan antimonopoli. Salah satunya yakni Renata Hesse, yang beberapa kali bertugas di Departemen Kehakiman sejak 2002.
Terakhir, Renata menjabat sebagai asisten jaksa agung pada pertengahan 2016 hingga Januari 2017. Dia juga pernah menangani sektor swasta dan memberi nasihat tentang hal-hal yang melibatkan perusahaan seperti Amazon.com Inc dan induk Google, Alphabet Inc.
Pertimbangan lainnya yakni Juan Arteaga. Ia bekerja di Departemen Kehakiman di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama antara 2013 hingga 2017. Dia menjabat sebagai wakil asisten jaksa agung untuk penegakan sipil, menurut sumber Reuters.
Selain itu, sumber mengatakan bahwa Biden mempertimbangkan Jonathan Kanter untuk masuk Departemen Kehakiman. Jonathan pernah memimpin departemen antimonopoli di firma hukum Paul Weiss dan sekarang menjalankan perusahaan sendiri.
Ia juga merupakan kritikus raksasa teknologi. “Nama-nama itu mencerminkan pemikiran transisi Biden sejauh ini dan dapat berubah seiring proses kajian,” demikian kata sumber.
Selama masa pemerintahan Trump, Google hingga Facebook menghadapi beberapa gugatan tentang dugaan monopoli. Google misalnya, dituduh bekerja sama dengan Facebook memonopoli bisnis iklan digital.
Pada akhir tahun lalu, pejabat di Texas dan sembilan negara bagian AS mencontohkan blog sepatu, yang menggunakan perangkat lunak dari Google untuk iklan, meraup pendapatan dari pengecer alas kaki yang beriklan di Facebook.
Mereka menyoroti sikap Google yang tidak menyampaikan kepada publik tentang Facebook yang setuju untuk tidak mendukung software pesaing. “Facebook memutuskan untuk mengatasi ancaman persaingan di hadapan Google dan kemudian membuat kesepakatan untuk memanipulasi lelang,” kata tim komunikasi internal, dikutip dari Reuters, bulan lalu (17/12/2020).
Sebagai gantinya, Facebook menerima berbagai manfaat, termasuk akses ke data Google dan pengecualian kebijakan yang memungkinkan klien mendapatkan lebih banyak iklan.
Google menyebut gugatan tersebut tidak patut dilayangkan. Sedangkan Facebook belum berkomentar.
eMarketer memperkirakan, Google meraup sepertiga pengeluaran iklan digital global atau sekitar US$ 42 miliar pada tahun ini.
Selain itu, Jaksa Agung Demokrat Colorado, Phil Weiser dan Jaksa Agung Republik Nebraska Doug Peterson menuntut Google terkait dugaan monopoli menggunakan mesin pencarian. Anak usaha Alphabet Inc ini juga dituduh memakai jaringan ilegal dan eksklusif untuk merugikan pesaing yang lebih kecil.
Big tech lainnya, Facebook bahkan diminta pisah dari Instagram dan WhatsApp. Komisi Perdagangan Federal atau FTC AS menilai, akuisisi ini merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk memonopoli media sosial.
FTC menuduh Facebook mengakuisisi saingan untuk mengurangi persaingan dan menghancurkan pemain kecil lain dengan membatasi akses ke layanan. “Waktu, perhatian, dan data pribadi pengguna digabungkan dan dijual dengan cara yang tidak adil,” kata FTC dikutip dari Financial Times, bulan lalu (14/12/2020).
Facebook mengakuisisi Instagram US$ 1 miliar pada 2012. Kemudian WhatsApp US$ 19 miliar dan Oculus US$ 2,3 miliar pada 2014. Setidaknya raksasa teknologi ini telah mengambil alih 87 perusahaan sejak 2005.
Sebelumnya, Subkomite Kehakiman Kongres AS juga merilis laporan terkait praktik monopoli yang dilakukan oleh raksasa teknologi. Mereka pun menyerukan reformasi UU Antimonopoli.
Isi laporan tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Apple | Mengenakan pungutan 30% atas setiap transaksi di App Store |
Amazon | Dianggap menciptakan konflik kepentingan atas dominasi layanan komputasi awan (cloud) dan lainnya |
· Dituduh ‘memanipulasi’ hasil di mesin pencarian untuk mendukung produk sendiri atau tertentu. Google menguasai 90% pasar mesin pencarian di AS· Menggunakan kekuatan atas akses data pengguna untuk menutup persaingan | |
Diduga memonopoli industri media sosial dengan mengakuisisi Instagram dan WhatsApp |
Sumber: CNBC Internasional
Sikap Biden terhadap Perusahaan Teknologi Tiongkok
Selain terkait antimonopoli big tech AS, Biden dinilai bakal melanjutkan kebijakan Trump dalam menekan perusahaan teknologi Tiongkok. Brian Deese, yang dipilih oleh Biden untuk memimpin Dewan Ekonomi Nasional mengatakan bahwa Negeri Panda merupakan pesaing utama AS.
“Kompetisi ini akan menjadi salah satu tantangan utama abad ini,” kata Brian dikutip dari Asia Nikkei, pekan lalu (11/1). Ini ia sampaikan dalam pameran elektronik dan teknologi konsumen terbesar, CES di mana para eksekutif dan pakar teknologi dari seluruh dunia berkumpul.
Namun, pemerintahan Biden akan memprioritaskan investasi dalam negeri di sektor teknologi alih-alih merugikan perusahaan Tiongkok dengan memberlakukan tarif dan larangan ekspor.
Selama kampanyenya, Biden pun memperkenalkan agenda ‘Beli Amerika’, yang mencakup US$ 300 miliar untuk teknologi baru, mulai dari kendaraan listrik hingga 5G. Ini area yang sudah digarap serius oleh Tiongkok.
"Salah satu elemen terpenting dari visi presiden terpilih tentang bagaimana menghadapi persaingan yakni kami perlu membangun kembali wilayah inti kekuatan AS,” ujar Brian. “Kami akan berfokus pada investasi di dalam negeri, ekonomi, dan demokrasi.”
Ia mengatakan, kolaborasi dengan sekutu AS akan menjadi kunci lain untuk menangkis kekuatan teknologi dan ekonomi Tiongkok. “Kami akan mengambil pendekatan multilateral,” katanya.
Sebelumnya, wakil presiden firma riset IDC, Bryan Ma mengatakan bahwa Biden memilih pendekatan baru yakni dengan menggaet sekutu. “Ini jika demi kepentingan AS,” kata Biden dalam laporan World Journal, dikutip dari South China Morning Post (SCMP), bulan lalu (13/12/2020).
Analis Center for Security and Emerging Technology di Georgetown University Will Hunt menilai, strategi menggaet sekutu kemungkinan lebih tepat sasaran dibandingkan cara Trump. Selama ini, politisi dari Partai Republik itu memasukkan lebih dari 50 perusahaan Tiongkok ke dalam daftar hitam terkait perdagangan.
Yang terbaru, Trump menambahkan Xiaomi ke dalam daftar perusahaan yang dianggap dikendalikan oleh militer Tiongkok. Ia juga memblokir TikTok, meski kebijakan itu ditangguhkan karena beberapa pengadilan menolak pemblokiran.
Trump juga mencabut lisensi perusahaan AS untuk bekerja sama dengan raksasa teknologi Tiongkok. Kebijakan ini diambil pada Senin (18/1) atau dua hari sebelum pergantian kepemimpinan.