WeChat dan Alipay Datang, Fintech Lokal Diramal Bakal Merger
Layanan teknologi finansial (fintech) pembayaran asal Tiongkok, WeChat Pay mulai tersedia di Indonesia pada akhir bulan ini. Pesaingnya, yakni Alipay akan menyusul. Namun, keduanya dinilai bukan menjadi pesaing bagi GoPay besutan Gojek, OVO, LinkAja maupun DANA.
Pasar kedua fintech pembayaran asing itu terbatas pada warga Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia. “Tidak akan terlalu memengaruhi pelaku sistem pembayaran yang lain,” kata Managing Partner Kejora Ventures Eri Reksoprodjo kepada Katadata.co.id, Selasa malam (29/9).
Ia justru melihat peta persaingan fintech pembayaran di Indonesia diwarnai konsolidasi dalam jangka menengah. Dengan begitu, “investor akan mempunyai pilihan untuk investasi di startup yang sudah lebih mature dan mempunyai shortest path to profitability,” ujar dia.
Hal senada sempat disampaikan oleh CEO BRI Ventures Nicko Widjaja. Ia menilai, ekosistem industri fintech Indonesia lebih mirip Tiongkok ketimbang Silicon Valley, Amerika Serikat (AS).
“Berkaca dari sana (Tiongkok), sangat masuk akal jika pemain fintech pembayaran Indonesia yang menguasai pangsa pasar lebih kecil, memilih bekerja sama dengan mitra strategis," ujar Nicko kepada Katadata.co.id, Juni lalu (16/6).
Di Negeri Tirai Bambu, tersisa dua pemain fintech pembayaran besar yakni WeChat Pay dan Alipay. Oleh karena itu, menurutnya kabar bahwa OVO dan DANA dalam pembicaraan untuk merger, sangat mungkin terjadi
Lagi pula, merger akan memperkuat ekosistem di industri fintech. "Jika berkaca ke pasar Indonesia secara spesifik, kunci sukses industri fintech yakni kolaborasi," kata dia.
Sebab, ekosistem sektor fintech pembayaran besar. Layanan yang tersedia pun beragam, mulai dari fungsi gerbang pembayaran (payment gateway), card switching, dan lainnya, yang bersifat end to end.
Di satu sisi, 80% pangsa pasar fintech pembayaran dikuasai lima pemain besar sebagaimana riset iPrice dan App Annie di bawah ini. "Tipe industrinya cukup concentrated," ujar Nicko.
Jika perusahaan-perusahaan di sektor fintech pembayaran merger, menurutnya investor akan semakin berminat.
Google, Temasek dan Bain memproyeksikan, nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025. Ini mencakup bank, penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP), asuransi, manajemen aset hingga fintech.
Secara spesifik, nilai bisnis sektor pembayaran digital di regional diperkirakan melebihi US$ 1 triliun pada 2025.
Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait pun menilai, merger akan memperkuat bisnis perusahaan. Selain itu, “industrinya menjadi lebih kuat dan ada percepatan akibat sinergi," kata dia.
Berdasarkan riset Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures yang dirilis bulan ini, lanskap strategi ‘exit’ startup di Asia Tenggara sejak 2015 sebagian besar berupa merger dan akuisisi. Target utamanya yakni perusahaan di sektor pembayaran dan manajemen investasi.
Di Indonesia, Gojek mengakuisisi Kartuku pada 2017 dan Moka pada April lalu. Decacorn Tanah Air ini juga mengambil alih Coins.Ph di Filipina, tahun lalu.
Kemudian OVO mengakuisisi Taralite dan menggaet Bareksa pada Maret-April tahun lalu. Sedangkan Grab mengambil alih Kudo pada 2017.
Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures memperkirakan, tren merger dan akuisisi meningkat pada 2020 hingga 2023. “Namun fokusnya pada startup asuransi (insurtech) dan penyedia solusi bisnis tahun ini,” demikian dikutip dari situs resmi Dealroom, beberapa waktu lalu (8/9).
Dari sisi pendanaan, investor masih berminat pada startup fintech. Setidaknya sembilan perusahaan rintisan di sektor ini memperoleh dana segar selama semester I.
Dealroom, Finch Capital dan MDI Ventures menilai, Singapura dan Indonesia merupakan dua ekosistem teknologi penting di regional. Investor yang aktif masuk ke kawasan ini yaitu Tencent, Ant Financial, Accel, Sequoia, SoftBank, dan Warburg Pincus.
Induk WeChat Pay, Tencent masuk ke Gojek yang memiliki GoPay. Sedangkan pesaingnya, Alibaba berinvestasi di DANA melalui Ant Finansial.
Raksasa e-commerce asal Tiongkok itu bahkan dikabarkan dalam pembicaraan dengan Grab terkait investasi US$ 3 miliar atau sekitar Rp 44,5 triliun. Jika hal ini terjadi, potensi OVO dan DANA merger dinilai semakin besar.
Sebab, OVO didukung oleh Grab. “Lebih banyak pembicaraan seperti itu (merger), mungkin menyusul (di tengah diskusi Alibaba dan Grab),” demikian kata Pendiri perusahaan venture builder berbasis di Singapura, Momentum Works Li Jianggan, dikutip dari ChannelNewsAsia, pekan lalu (23/9).
Namun OVO dan DANA enggan berkomentar mengenai potensi merger yang meningkat, jika Alibaba menyuntikkan dana ke Grab.
Sebenarnya kabar OVO dan DANA akan merger sudah berhembus sejak tahun lalu. Pendiri sekaligus pemilik Lippo Grup Mochtar Riady mengatakan, perusahaannya menjual dua pertiga saham OVO.
Pada akhir tahun lalu, Grab dikabarkan dalam pembicaraan untuk membeli DANA dari Emtek. Sumber Reuters mengatakan, decacorn asal Singapura ini berencana menggabungkan OVO dengan DANA.
Persaingan Fintech Pembayaran
Sumber Reuters mengatakan, Grab berencana membeli DANA untuk memperkuat daya saing OVO melawan GoPay. Namun muncul pesaing baru yakni ShopeePay.
Berdasarkan Snapcart dan MarkPlus, fintech yang terafiliasi dengan Shopee ini memimpin dari sisi jumlah pengguna maupun transaksi selama pandemi Covid-19.
Setidaknya ada tiga fokus strategi ShopeePay untuk meningkatkan transaksi. Pertama, promosi atau dikenal dengan 'bakar uang' seperti voucer diskon, uang kembali (cashback) hingga Rp 1 per transaksi.
Juru bicara Shopee mengatakan, promosi merupakan bagian dari pengenalan layanan. “Sebelumnya hanya menjangkau di universe Shopee. Sekarang ke luar, mengenalkan,” kata dia kepada Katadata.co.id, Februari lalu (27/2).
Kedua, menggaet lebih banyak mitra penjual (merchant). ShopeePay sudah terintegrasi dengan 3,7 juta merchant yang menggunakan kode QR standar atau QRIS. Sebanyak 2,5 juta lebih di antaranya merupakan pengusaha mikro.
Terakhir, berfokus membangun ekosistem yang berkelanjutan, terutama di tengah pandemi virus corona.
Sedangkan Head of Corporate Communication OVO Harumi Supit mengatakan, perusahaan berfokus memberdayakan dan merangkul setiap mitra dalam mengembangkan ekosistem. Saat ini, OVO menggaet 700 ribu merchant modern dan UMKM di Indonesia.
“Kami percaya, lanskap pembayaran digital di Indonesia masih memiliki potensi pertumbuhan yang sangat besar. Dengan kehadiran pemain fintech baru (seperti WeChat Pay dan Alipay) tentu menjadi peluang mendorong inklusi keuangan,” kata dia kepada Katadata.co.id, kemarin (29/9).
CMO LinkAja Edward Kilian Suwignyo mengatakan, perusahaan berfokus menggarap ekosistem. Ini bertujuan agar LinkAja digunakan setiap hari oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
LinkAja juga merambah layanan syariah pada April lalu. “Layanan syariah ini yang pertama dan satu-satunya yang mendapat sertifikasi MUI,” kata Edward.
Saat ini, LinkAja menggaet 234 ribu mitra lokal dan 1.500 e-commerce. Selain itu, tersedia di tiga ribu SPBU milik Pertamina dan 466 pasar tradisional.
Katadata.co.id juga sudah menghubungi DANA dan GoPay terkait strategi bersaing di Indonesia. Namun belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.
Atas dasar itu, Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero menilai bahwa WeChat Pay dan Alipay tidak bersaing dengan GoPay, OVO hingga DANA. Kehadiran kedua platform di Indonesia hanya untuk melayani turis Tiongkok.
Selain itu, keduanya bersaing di Indonesia lewat investasi. Induk WeChat Pay berinvestasi di Gojek, sementara Alipay menyuntik modal DANA.