Kongsi Besar BUMN Kakap Merambah Pasar Baterai Global

Image title
16 Oktober 2020, 18:03
Indonesia Battery Holding, MIND ID, Antam, PLN, Pertamina, pabrik baterai
123RF.com/Hannu Viitanen
Ilustrasi baterai. MIND ID, Pertamina, dan PLN akan membentuk Indonesia Battery Holding

Orias menyebut impor lithium menjadi salah satu opsi untuk operasional pabrik baterai BUMN. Opsi lainnya adalah berinvestasi tambang komoditas itu di negara lain. “Jadi, ada berbagai kombinasi bahan baku baterai itu. Ada nikel, kobalt, lithium. Kandungan nikelnya akan mayoritas, 80%," kata Orias kemarin.

Sebagai informasi, produksi baterai lithium-ion global untuk kendaraan listrik saat ini terkonsentrasi di empat negara, yakni Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Korea Selatan, dan Polandia. Tiongkok merupakan produsen terbesar baterai lithium dunia, dengan kapasitas 16,4 gigawatt hour (GWh) pada 2016. Bahkan perusahaan mobil listrik Tesla mendapatkan baterainya dari Negeri Panda.

Produksi baterai lithium-ion Tiongkok ini diprediksi akan mencapai 107,5 gigawatt hour pada 2020 atau tumbuh hampir enam kali lipat dibandingkan 2016. Korea Selatan berada di posisi kedua pada 2016 dengan kapasitas produksi baterai lithium-ion 10,5 gigawatt hour.

Pada 2020, total kapasitas produksi baterai tersebut akan mencapai 23 gigawatt hour atau dua kali lipat dari 2016. Namun, posisi Korsel pada 2020 akan digeser oleh AS, seperti tampak pada grafik Databoks di bawah ini.

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa Mulyana menilai tak ada salahnya Indonesia melakukan impor lithium. Bahan baku pembuatan baterai tak sepenuhnya ada di Indonesia.

Pengembangan pabrik baterai menjadi penting untuk mendorong industri hulu kendaraan listrik dan pembangkit listrik energi terbarukan. "Ini masalah pilihan, dari hilir dengan impor atau dari hulu yang selanjutnya akan menumbuh kembangkan industri lainnya dalam rangka transisi energi," kata dia.

Dia juga menyebut kehadiran industri baterai akan berpengaruh besar pada porsi bauran energi terbarukan di Indonesia. Khususnya pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS.

Selama ini kelemahan PLTS adalah sifatnya yang intermiten atau tidak bisa mengikuti beban listrik. Penggunaannya harus diiringi dengan pembangkit lain untuk menunjang stabilitas pasokan listrik. Dengan pemakaian baterai, maka PLTS dapat beroperasi mandiri.

Dikonfirmasi secara terpisah, pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan komponen yang dibutuhkan dalam proses pembuatan baterai sebetulnya semua telah ada di Indonesia. " Pemerintah tinggal menugaskan Inalum untuk membangun industri ini. Bisa kerja sama dengan investor asing," ujarnya.

Dia berpendapat opsi impor lithium dan investasi di luar negeri merupakan opsi kebijakan yang dapat dilakukan secara paralel. "Tentu ini memerlukan dana yang besar. Tapi nilai tambah untuk industrinya juga besar, terutama untuk  mobil listrik," kata dia.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia atau Perhapi Rizal Kasli mengatakan langkah pengadaan lithium dapat terbagi dalam waktu jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, caranya dengan mendapatkan komoditas itu dari pasar internasional atau bermitra dengan negara produsen. Lalu, melakukan merger dan akuisisi tambang lithium di negara lain. "Produknya bisa kita impor untuk mendukung industri baterai tersebut," kata dia.

Untuk jangka panjang, langkahnya dengan melakukan eksplorasi greenfield daerah-daerah yang berpotensi memiliki endapan lithium. Pemerintah bisa menugaskan BUMN khusus untuk melakukan hal itu atau melibatkan peran swasta.

Niat hilirisasi di dalam negeri tetap harus dipertahankan agar bisa meningkatkan nilai tambah. "Kebijakan untuk hilirisasi ini jangan berubah-rubah dan harus dikawal terus agar terealisasi dengan baik," ucapnya.

Sebagai informasi, produk hilirisasi nikel berpotensi menggeser batu bara yang selama ini menjadi komoditas unggulan Indonesia. Bank investasi dan keuangan asal Amerika Serikat, Morgan Stanley menyebut ekspornya akan naik seiring dengan peningkatan investasi yang signifikan dari perusahaan Tiongkok. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang memiliki cadangan bijih nikel terbesar di dunia.

Sebelumnya, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi nikel di dunia pada tahun lalu berada di angka 2,6 juta ton. "Secara global, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dan menghasilkan 800 ribu ton," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono dalam webinar, Selasa (13/10).

Di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Filipina dan Rusia dengan produksi masing-masing 420 ribu ton dan 270 ribu ton. Lalu, nomor empat adalah New Caledonia sebesar 220 ribu ton dan negara lainnya mencapai 958 ribu ton.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...