Proyek Sampah Jadi Listrik dalam Sorotan KPK

Image title
23 November 2020, 17:03
pltsa, kpk, pembangkit listrik tenaga sampah, sampah
123RF.com/besputin
KPK menemukan adanya pemborosan uang negara dari proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa.

Solusi penanganan sampah dengan PLTSa, menurut dia, kurang efektif dan berbiaya tinggi. Terlalu banyak subsidi dari pemerintah pusat dan daerah, padahal kapasitas fiskal daerah terbatas.

Penanganan sampah yang utama adalah melaksanakan 3R, yaitu mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur ulang (recycle). "Dan pengelolaannya dilakukan mulai dari rumah dan diolah secara komunal," ujarnya.

Saat ini sudah mulai pembuatan pelet dari sampah untuk co-firing pembangkit. Dari hasil uji coba tersebut ternyata hasilnya lebih efisien ketimbang bangun PLTSa yang mahal.

Kalau dirunut balik, gagasan mengolah sampah kota jadi energi itu sudah ada sejak akhir 2000-an. Namun, kerja sama Pemprov DKI dan swasta di TPA Bantargebang, Bekasi akhirnya tidak berhasil. Demikian juga di TPA Suwung, Bali. Yang lumayan sukses di TPA Benowo, Jawa Timur yang menghasilkan 12 megawatt.

Pemerintah harus memiliki rencana dan strategi pengelolaan sampah kota lebih berkelanjutan dan efektif. Perpres yang mengatur proyek PLTSa di 12 kota pun sebaiknya direvisi kembali.  "Menurut saya, pemerintah perlu merespon atau menanggapi penilaian dan pertimbangan KPK," ujarnya.

Ujicoba Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
Uji coba pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa. (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)

Proyek PLTSa Dapat Dimulai Dengan Skala Kecil Terlebih Dahulu

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai PLTSa jangan hanya dilihat sebagai sumber energi listrik atau gas tapi bonus. Inti dari itu semua adalah bagaimana mengelola sampah secara tepat.

Sampah yang menjadi energi berupa pelet dan mempunyai nilai kalori setara batu bara biayanya akan mahal. Namun, anggaranya dapat dikurangi biaya pengelolaan sampah. "Jadi, menurut saya, sebaiknya PLTSa tetap diteruskan," ujarnya.

Pembangunannya dapat dilakukan dalam skala kecil dulu. Pengumpulannya tidak perlu terpusat, asalkan manajemen transportasinya tepat. PLTSa ini dapat dimanfaatkan untuk menerangi jalan dan sekitarnya. “Skala kecil tapi ada di berbagai tempat sehingga menyelesaikan masalah sampah kota atau wilayah,” kata Iwa.

Pemanfaatan sampah menjadi PLTSa merupakan bagian dari porsi bioenergi yang masuk dalam rencana umum energi nasional alias RUEN. Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma kebijakan ini tercantum dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017.

Porsi energi tersebut mencapai lebih 3 gigawatt. Karena itu, keberhasilan pemanfaatan sampah untuk energi dapat mendorong target bauran energi nasional.

Masalahnya sekarang ada perbedaan cara pandang antara pemda dan pengembang dalam pemanfaatan sampah untuk energi ini. Pemda merasa tidak bertanggung terhadap keberlangsung bahan bakunya. Padahal, jika tidak dimanfaatkan untuk energi, sampah itu dapat mencemari lingkungan. "Dan tentu saja berdampak negative ke kotanya," ujar Surya.

Sebagai informasi, komposisi sampah terbesar di Indonesia adalah organik, terutama dari makanan. Porsinya mencapai 60%. Di bawahnya adalah plastik, sebesar 14%.

Kesadaran masyarakat a untuk mendaur ulang sampah tergolong rendah. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2018 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut hanya 1,2% rumah tangga yang mendaur ulang sampahnya.

Sekitar 66,8% rumah tangga menangani sampah dengan cara dibakar. Padahal, asap yang ditimbulkan dari hasil pembakaran bisa menimbulkan polusi udara dan mengganggu kesehatan.

 

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...