Riset: Lebih Murah Transisi Batu Bara ke EBT Dibandingkan Gas
Tingginya harga batu bara dan gas semakin memberatkan konsumen rumah tangga dan pelaku bisnis. Namun tingginya harga bahan bakar kotor ini membuka peluang yang lebih besar untuk transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT) atau energi bersih.
Menurut hasil penelitian firma analisis iklim TransitionZero, saat ini biaya untuk transisi energi dari batu bara ke energi bersih lebih murah dibandingkan transisi dari batu bara ke gas. Hal ini berkat turunnya biaya energi terbarukan dan penyimpanan baterai, serta semakin tingginya harga gas.
“Harga karbon yang dibutuhkan untuk memberikan insentif transisi pembangkit listrik batu bara ke sistem baterai energi terbarukan telah turun ke harga negatif. Itu artinya Anda bisa menghemat biaya dengan beralih ke energi terbarukan,” kata analis TransitionZero, Jacqueline Tao, seperti dikutip CNBC.com, Rabu (18/5).
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa biaya rata-rata secara global untuk transisi dari batu bara ke EBT sudah turun hingga 99% sejak 2010, dibandingkan transisi dari batu bara ke gas.
Dengan menggunakan Coal to Clean Carbon Price Index (C3PI Project) atau indeks harga batu bara terhadap karbon bersih, TransitionZero mengukur harga karbon yang dibutuhkan untuk mendorong transisi dari batu bara ke EBT, seperti angin lepas pantai atau tenaga surya plus baterai, di 25 negara.
Temuan mereka menunjukkan bahwa harga karbon yang dibutuhkan untuk memberi mendorong transisi energi dari batubara ke bersih telah anjlok menjadi US$ -62 per ton karbon dioksida yang dihasilkan rata-rata pada 2022.
Sedangkan insentif harga karbon yang dibutuhkan untuk mendorong transisi dari batu bara ke gas mencapai US$ 235/ton CO2.
Temuan ini menantang pemahaman yang ada selama ini bahwa gas merupakan sumber energi yang dapat menjembatani transisi dari batu bara ke energi bersih terbarukan seperti angin, matahari, dan lainnya.
Secara tradisional, gas telah dianggap sebagai jembatan dari batu bara ke energi terbarukan karena pembakaran gas memiliki intensitas karbon yang lebih rendah daripada pembakaran batu bara.
“Harga karbon untuk transisi batu bara ke energi bersih bervariasi di seluruh wilayah, dan gambarannya tidak semewah di Asia dibandingkan dengan Uni Eropa karena perbedaan struktur pasar dan mekanisme harga bahan bakar,” kata Tao.
Negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam masih menghadapi biaya yang relatif tinggi untuk beralih langsung ke energi terbarukan dari batu bara. Menurut Tao, negara-negara ini secara tradisional tertinggal dalam transisi energi terbarukan karena masih memberikan subsidi bahan bakar fosil.
“Tetapi di luar penghematan biaya, energi terbarukan juga membantu meningkatkan keamanan energi. Berinvestasi dalam energi terbarukan memberikan perlindungan terhadap risiko perubahan iklim,” kata Tao.
Di menambahkan saat ini bank semakin merasa berisiko untuk meminjamkan dananya untuk proyek bahan bakar fosil ini karena khawatir aset tersebut akan menjadi aset terlantar dalam waktu dekat karena transisi energi global.
“Itu berarti akan ada pasokan hulu terbatas yang akan online, dan kita akan melihat pasar gas yang semakin ketat dan pasar bahan bakar fosil secara umum yang akan rentan terhadap guncangan permintaan dan pasokan,” ujarnya.
Di sisi lain, infrastruktur bahan bakar fosil dapat menghadapi risiko fisik sebagai akibat dari perubahan iklim dan peristiwa cuaca ekstrem, tambahnya. “Kami berpikir bahwa berinvestasi dalam energi terbarukan sekarang akan memberikan lindung nilai,” tukas Tao.