Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia dari Masa ke Masa
Program pengampunan pajak atau tax amnesty, yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, menjadi salah satu topik yang diangkat pada masa kampanye Pilpres 2024.
Kebijakan ini dikritik oleh kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 dan 03. Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Eddy Soeparno mengatakan, kebijakan pengampunan pajak memberikan pelajaran buruk bagi masyarakat. Wajib pajak dinilai akan berpikir untuk menyembunyikan kekayaannya dengan pemikiran bahwa pengampunan pajak merupakan program rutin pemerintah.
Sementara, cawapres nomor urut 03 Mahfud MD menilai, implementasi aturan tax amnesty atau pengampunan pajak tidak memberikan hasil yang jelas kepada negara.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, tercatat dua kali menerapkan kebijakan tax amnesty. Pertama, pada periode 2016-2017, yang pelaksanaannya dibagi menjadi tiga periode, mulai 28 Juni 2016 hingga 31 Maret 2017. Program pengampunan pajak kedua dilaksanakan pada 1 Januari-30 Juni 2022.
Namun, program pengampunan pajak tidak pertama kali dijalankan saat pemerintahan Jokowi. Sebab, program serupa sudah dijalankan sejak dekade 1960-an, saat pemerintahan Presiden Soekarno.
Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia
Sejatinya, kebijakan pengampunan pajak bukan baru pertama kali dijalankan Indonesia pada pemerintahan Jokowi. Tercatat Indonesia sudah lima kali melakukannya, termasuk dengan yang sedang dijalankan saat ini. Kebijakan ini pertama kali dijalankan oleh Presiden Soekarno pada 1964 silam.
Seperti apa bentuk kebijakan tax amnesty yang dijalankan oleh Indonesia dari masa ke masa ini, dan bagaimana pencapaiannya? Simak ulasan berikut.
1. Pengampunan Pajak 1964
Kebijakan pengampunan pajak yang dijalankan Presiden Soekarno ini, dijalankan dengan dasar hukum Penetapan Presiden (Penpres) No. 5/1964 yang dikeluarkan pada 9 September 1964. Melalui kebijakan ini, pemerintah saat itu berharap mampu menggalang dana untuk menjalankan program Pembangunan Nasional Semesta Berencana.
Mengutip historia.id, latar belakang dikeluarkannya kebijakan ini adalah, pendapatan pemerintah dari sektor perpajakan tergolong rendah. Ini disebabkan karena tarif pajak yang tinggi, serta inflasi yang terus meningkat setiap tahun, membuat masyarakat saat itu enggan membayar pajak. Selain itu, sistem perpajakan Indonesia saat itu tergolong rumit.
Sebelum menjalankan kebijakan ini, pemerintah melalui Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) pada 1962 sudah memberikan kelonggaran perpajakan. Kelonggaran yang dimaksud ini tertuang dalam Instruksi Presiden No. Instr.2/KOTOE dan No. Instr.6/KOTOE, yang intinya membebaskan modal yang disalurkan ke usaha-usaha produktif dari tuntutan pajak.
Namun, dua tahun berjalan kebijakan pelonggaran ini terbukti kurang efektif, sehingga muncul kebijakan pengampunan pajak. Saat itu, pemerintah menetapkan 17 Agustus 1965 sebagai tenggat waktu pelaksanaan program pengampunan pajak, yang kemudian diperpanjang menjadi 30 November 1965.
Karena baru pertama kali dilakukan, dan belum ada perkiraan definitif, pemerintah saat itu mematok target penghimpunan dana sebesar Rp 50 miliar dari kebijakan ini. Sementara, besar tebusan ditetapkan sebesar 5-10% dari modal yang mendapatkan pengampunan.
Awalnya kebijakan ini berjalan lambat, karena kurangnya sosialisasi dan perbedaan penafsiran di antara petugas pajak, plus diwarnai "huru-hara" politik 1965. Namun, kebijakan pengampunan pajak yang pertama kali dijalankan ini tergolong sukses.
Merujuk pada Undang-undang (UU) No.12/1966 tentang Penetapan Anggaran Induk Beserta Tambahan dan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1965, realisasi pengampunan pajak tercatat mencapai Rp 121.562.638.000. Artinya, realisasi ini jauh melampaui target yang ditetapkan.
Keberhasilan program pengampunan pajak yang baru pertama kali dilakukan ini tercapai berkat kesadaran masyarakat, serta adanya intensifikasi pemungutan. Plus, karena pemerintah memutuskan memundurkan tenggat waktu pengampunan pajak.
Selain itu, kebijakan pengampunan pajak juga berhasil melampaui target berkat kebijakan penyesuaian tarif pajak serta batas minimum kena pajak terhadap tingkat inflasi.
2. Pengampunan Pajak 1984
Pengampunan pajak kedua yang dijalankan Indonesia adalah pada 1984, saat masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pengampunan pajak kedua ini dijalankan setahun setelah Indonesia menerapkan Reformasi Perpajakan 1983.
Latar belakang pelaksanaan pengampunan pajak pada 1984 adalah, karena pemerintah saat itu mengalami kesulitan pemasukan akibat penurunan harga minyak yang drastis, disertai penurunan produksi.
Penurunan harga minyak secara drastis jelas memukul Indonesia, karena sejak pertengahan 1970-an sekitar 70% pendapatan negara disumbang sektor minyak dan gas (migas). Menipisnya cadangan minyak serta penurunan harga ini berimplikasi negatif terhadap pendapatan negara.
Menteri Keuangan yang saat itu dijabat oleh Radius Prawiro kemudian mencari alternatif sumber pendapatan, salah satunya dari perpajakan. Namun, sektor perpajakan saat itu tidak bisa terlalu diharapkan.
Sebab, pengumpulan pajak masih terlampau sedikit karena masyarakat masih enggan membayar. Akibatnya, realisasi pengumpulan pajak selalu di bawah target. Oleh karena itu, pemerintah sejak awal 1980 telah memikirkan terobosan untuk mendorong penerimaan perpajakan. Inilah yang melandasi berbagai reformasi pajak yang dimulai 1983.
Reformasi perpajakan 1983 ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau UU KUP, yang menjadi landasan peraturan perpajakan hingga saat ini. Diikuti dengan UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan, serta UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
Reformasi perpajakan dirasa perlu, karena sebelumnya sistem perpajakan Indonesia mengenal 48 tarif pajak perorangan dan sepuluh tarif bagi badan hukum. Regulasinya juga terlalu banyak dan terkadang saling bertentangan.
Setelah itu, pemerintah mengeluarkan dasar hukum pengampunan pajak, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 26/1984 tentang Pengampunan Pajak. Kebijakan ini dijalankan mulai 18 April 1984 sampai 30 Juni 1985.
Secara umum, penerapan pengampunan pajak 1984 memiliki beberapa latar belakang, antara lain:
- Diberlakukannya sistem perpajakan yang baru yang berbasis self assesment. Oleh karena itu, Pemerintah mengharapkan peningkatan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
- Diperlukan adanya pangkal tolak yang bersih berdasarkan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat. Namun, keinginan wajib pajak untuk membuka diri tampaknya masih diliputi oleh keraguan akibat hukum yang mungkin timbul.
- Diperlukan dukungan sepenuhnya dari masyarakat, baik yang telah terdaftar maupun yang selama ini belum memunculkan diri sebagai wajib pajak.
Pengampunan pajak 1984 memiliki bentuk yang sama dengan pengampunan pajak 1964, yaitu investigation amnesty. Pengampunan pajak yang dijalankan pada 1984 memungkinkan wajib pajak bebas dari pengusutan fiskal dan laporan tentang kekayaan.
Artinya, pengampunan pajak tidak akan dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun terhadap Wajib Pajak. Selain itu, mekanisme untuk mendapatkan pengampunan mengharuskan wajib pajak untuk membayar sejumlah uang tebusan.
Mengutip studi yang dipublikasikan oleh Tim Edukasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), selama masa pemberlakuannya, pengampunan pajak 1984 diikuti oleh 182.114 wajib pajak orang pribadi dan 22.748 wajib pajak badan.
Meski demikian, pengampunan pajak 1984 dinilai kurang efektif, karena hanya mampu mengumpulkan uang tebusan sekitar Rp 67,8 miliar. Ini berasal dari 45,6 miliar dari wajib pajak orang pribadi dan Rp 22,2 miliar dari wajib pajak badan.
Dikatakan kurang efektif, karena hasil uang tebusan yang dikumpulkan ini hanya berkontribusi sebesar 1,02% terhadap penerimaan negara saat itu, yang mencapai Rp 6.616,9 miliar. Padahal, pengampunan sudah dijalankan secara menyeluruh, dengan menyasar semua jenis pajak.
Kurang suksesnya pengampunan pajak 1984 disebabkan karena kurang gencarnya pemerintah melakukan sosialisasi. Selain itu, banyak wajib pajak saat itu masih "buta" terhadap pajak dan tidak mengetahui seluk beluk perpajakan.
Hal ini ditambah prosedur penghitungan kekayaan untuk mengitung uang tebusan yang relatif sulit dan rumit. Hal tersebut menyebabkan wajib pajak mengurungkan niat mengikuti program pengampunan pajak, meski telah mengambil formulir pengampunan pajak, SPT Pajak Pendapatan 1983 dan SPT Pajak Kekayaan 1984.
3. Sunset Policy (2008)
Bentuk pengampunan pajak lain yang dijalankan Indonesia adalah kemunculan Sunset Policy pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dijalankan pada 1 Januari-31 Desember 2008. Program ini kemudian diperpanjang hingga 28 Februari 2009.
Mengutip ortax.org, Sunset Policy merupakan kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga. Kebijakan ini memiliki dasar hukum Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, yang merupakan perubahan ketiga UU KUP.
Melalui UU 28/2007, DJP memiliki kewenangan menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data. Ketentuan ini memungkinkan otoritas pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan melaksanakannya dengan benar.
Wajib pajak yang dapat memanfaatkan Sunset Policy antara lain:
- Orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang pada 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya, paling lambat 31 Maret 2009.
- Wajib pajak orang pribadi dan badan yang telah memiliki NPWP sebelum 2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan.
Sejatinya Sunset Policy ini bukan sepenuhnya pengampunan pajak. Sebab, kebijakan ini menghapuskan sanksi denda administrasi dengan tetap membayarkan pokok pajak bagi wajib pajak orang pribadi dan badan secara penuh, sesuai dengan tarif umum yang berlaku berdasarkan UU. Selain itu, dalam Sunset Policy tidak ditetapkan kebijakan mengenai pembebasan atas tuntutan pidana pajak.
Pemerintah pun saat itu menyebutkan, bahwa Sunset Policy hanya akan membebaskan wajib pajak terhadap satu dari tiga sanksi administrasi perpajakan, yakni hanya bebas dari sanksi bunga. Sementara sanksi berupa denda dan kenaikan nilai pajak yang dtagih tidak dihapuskan.
Dengan payung hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2008, pemerintah menjalankan Sunset Policy atas denda administrasi berupa bunga hingga 200%. Selain itu, wajib pajak yang ikut serta tidak diberikan Surat Tagihan Pajak.
Sementara, tax amnesty merupakan kebijakan yang memberikan pengampunan atas keringanan pokok pajak, yaitu berkaitan dengan hutang pajak atau pokok pajak yang kurang ataupun belum dibayarkan dengan penerapan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif yang berlaku secara umum. Selain itu, dalam tax amnesty ada kebijakan dengan memberikan pembebasan atau penghapusan dari tuntutan pidana pajak.
Meski demikian, kehadiran Sunset Policy ini dapat dipandang sebagai bentuk fasilitas keringanan pajak yang berdampak positif dan berkontribusi signifikan terhadap kinerja perpajakan saat itu.
Mengutip Laporan DJP, hingga Desember 2008 program ini berhasil mendapatkan 3.545.076 wajib pajak baru, serta berhasil mengumpulkan penerimaan PPh sebesar Rp 5,56 triliun. Kemudian, perpanjangan Sunset Policy berhasil menggaet 2.090.052 wajib pajak baru, dan berhasil mengumpulkan penerimaan PPh sebesar Rp 1,9 triliun.
Secara total, program Sunset Policy berhasil mendapatkan jumlah wajib pajak baru sebanyak 5.635.128. Sementara, total penerimaan PPh yang dihimpun melalui program ini mencapai Rp 7,46 triliun.
4. Tax Amnesty Jilid I (2016)
Seperti telah disebutkan, pada 2016-2017 pemerintahan Presiden Joko Widodo menjalankan kebijakan pengampunan pajak. Saat ini, kebijakan yang diambil tersebut dikenal sebagai Tax Amnesty Jilid I.
Kebijakan ini memiliki dasar hukum UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa wajib pajak hanya perlu mengungkap harta dan membayar tebusan pajak sebagai pajak pengampunan atas harta yang selama ini tidak pernah dilaporkan.
Mengutip online-pajak.com, pengampunan pajak dilakukan untuk menarik uang dari para wajib pajak, yang disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak. Keberadaan uang wajib pajak yang disimpan di luar negeri ini membuat potensi penerimaan negara dari pajak juga hilang.
Oleh karena itu, untuk menarik hati para wajib pajak, pemerintah menerapkan program tax amnesty dengan harapan para wajib pajak yang menyimpan uang di luar negeri dapat mengalihkan simpanannya ke dalam negeri.
Secara perinci, ada tiga tujuan utama Tax Amnesty Jilid I yang hendak diraih. Pertama, meningkatkan likuiditas domestic, penurunan suku bunga dan investasi dan perbaikan nilai tukar rupiah melalui pengalihan harta. Kedua, mempercepat reformasi perpajakan. Ketiga, meningkatkan penerimaan negara dari pajak.
Pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I ini dibagi menjadi tiga periode, yakni mulai 28 Juni-30 September 2016. Kemudian, 1 Oktober-31 Desember 2016. Terakhir, 1 Januari-31 Maret 2017
Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan beberapa kemudahan kepada wajib pajak yang ingin mengikuti. Kemudahan-kemudahan yang diberikan adalah berupa tarif pajak yang rendah dan beberapa fasilitas seperti:
- Penghapusan sanksi administratif,
- Ditiadakannya pemeriksaan pajak untuk penindakan dengan tujuan pidana,
- Penghapusan segala pajak-pajak yang terutang.
- Penghentian pemeriksaan pajak bagi yang sedang diperiksa.
- Tidak dikenakannya PPh Final untuk pengalihan harta berupa saham, bangunan, atau tanah.
Khusus bagi wajib pajak yang menyimpan hartanya di negara lain, diwajibkan merepatriasi atau menyalurkan hartanya yang selama ini tersimpan di luar untuk diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun.
Investasi tersebut dapat berbentuk obligasi BUMN, investasi keuangan pada bank dalam negeri, obligasi perusahaan-perusahaan dalam negeri, kerjasama dengan pemerintah atau badan usaha sebagai investasi pada pembangunan infrastruktur, obligasi lembaga pembiayaan pemerintah, dan investasi lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Hingga berakhirnya waktu pelaksanaannya, Tax Amnesty Jilid I, diikuti oleh 956.793 wajib pajak. Sementara, nilai harta yang diungkap mencapai Rp 4.854,63 triliun.
Meski demikian, pencapaian program repatriasi dalam Tax Amnesty Jilid I jauh dari target, di mana komitmen repatriasi pajak hanya sebesar Rp 147 triliun. Jumlah itu setara dengan 14,7% dari target yang ditetapkan, yakni Rp 1.000 triliun.
Sementara, nilai harta deklarasi dalam negeri sebesar Rp 3.676 triliun. Lalu, nilai harta deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.031 triliun. Selanjutnya, negara hanya menerima uang tebusan sebesar Rp 114,02 triliun. Pencapaian ini setara dengan 69% dari target yang ditetapkan, yakni Rp 165 triliun.
5. Tax Amnesty Jilid II (2022)
Tax Amnesty Jilid II dijalankan dengan tujuan untuk mengumpulkan “iuran” dari para wajib pajak yang telah menyimpan kekayaannya secara rahasia di negara-negara bebas pajak. Kebijakan yang disebut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini, menjadi bagian dari UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Aturan pelaksanaan program ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Beleid ini diundangkan per 23 Desember 2021.
Adapun, wajib pajak yang dapat mengikuti Tax Amnesty Jilid II ini adalah wajib pajak yang pernah mengikuti Tax Amnesty Jilid I. Namun, dengan catatan perincian pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak, atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta.
Selain itu, program ini juga dibuka bagi wajib pajak yang berdasarkan pengungkapan hartanya belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun pajak 2020.
Mengutip online-pajak.com, syarat awal keikutsertaan dalam Tax Amnesty Jilid II ini adalah, wajib pajak harus mengungkapkan harta bersih melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada DJP selama masa periode pelaksanaan, yakni 1 Januari-30 Juni 2022.
Harta bersih yang dimaksud, dianggap sebagai tambahan penghasilan yang dikenakan PPh yang sifatnya final. Penghitungannya dilakukan dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Surat pemberitahuan pengungkapan harta setidaknya dilampiri dengan:
- Bukti pembayaran PPh Final.
- Daftar rincian harta beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan.
- Daftar utang.
- Pernyataan pengalihan harta bersih dalam wilayah Indonesia. Dalam hal ini, wajib pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang ada di luar negeri.
- Pernyataan bahwa akan menginvestasikan harta bersih pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Indonesia, dan/atau SBN.
Setelah itu, DJP akan menerbitkan surat keterangan atas penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh wajib pajak. Namun, jika berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan kondisi sebenarnya, maka DJP dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan.
Ada dua keuntungan yang didapatkan wajib pajak yang mengikuti Tax Amnesty Jilid II ini. Pertama, tidak akan dikenakan sanksi administratif perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang bayar. Ketentuan sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.
Kedua, wajib pajak juga dibebaskan dari tuntutan pidana. Pasalnya, informasi yang bersumber dari surat pengungkapan harta dan lampirannya tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Melalui Tax Amnsesty Jilid II, pemerintah berhasil mengantongi penerimaan pajak sebesar Rp 61,01 triliun. Nominal ini jauh di bawah penerimaan yang didapatkan saat pelaksanaan kebijakan serupa pada 2016, dimana pemerintah saat itu berhasil mendapatkan penerimaan pajak sebesar Rp 134,8 triliun.