Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia dari Masa ke Masa

Image title
9 Februari 2024, 12:00
Pajak
ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Ilustrasi, petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Button AI Summarize

Program pengampunan pajak atau tax amnesty, yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, menjadi salah satu topik yang diangkat pada masa kampanye Pilpres 2024. 

Kebijakan ini dikritik oleh kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 dan 03. Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran Eddy Soeparno mengatakan, kebijakan pengampunan pajak memberikan pelajaran buruk bagi masyarakat. Wajib pajak dinilai akan berpikir untuk menyembunyikan kekayaannya dengan pemikiran bahwa pengampunan pajak merupakan program rutin pemerintah.

Sementara, cawapres nomor urut 03 Mahfud MD menilai, implementasi aturan tax amnesty atau pengampunan pajak tidak memberikan hasil yang jelas kepada negara.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, tercatat dua kali menerapkan kebijakan tax amnesty. Pertama, pada periode 2016-2017, yang pelaksanaannya dibagi menjadi tiga periode, mulai 28 Juni 2016 hingga 31 Maret 2017. Program pengampunan pajak kedua dilaksanakan pada 1 Januari-30 Juni 2022.

Namun, program pengampunan pajak tidak pertama kali dijalankan saat pemerintahan Jokowi. Sebab, program serupa sudah dijalankan sejak dekade 1960-an, saat pemerintahan Presiden Soekarno.

Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia

Tax Amnesty
Tax Amnesty (Arief Kamaludin|KATADATA)

Sejatinya, kebijakan pengampunan pajak bukan baru pertama kali dijalankan Indonesia pada pemerintahan Jokowi. Tercatat Indonesia sudah lima kali melakukannya, termasuk dengan yang sedang dijalankan saat ini. Kebijakan ini pertama kali dijalankan oleh Presiden Soekarno pada 1964 silam.

Seperti apa bentuk kebijakan tax amnesty yang dijalankan oleh Indonesia dari masa ke masa ini, dan bagaimana pencapaiannya? Simak ulasan berikut.

1. Pengampunan Pajak 1964

Kebijakan pengampunan pajak yang dijalankan Presiden Soekarno ini, dijalankan dengan dasar hukum Penetapan Presiden (Penpres) No. 5/1964 yang dikeluarkan pada 9 September 1964. Melalui kebijakan ini, pemerintah saat itu berharap mampu menggalang dana untuk menjalankan program Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Mengutip historia.id, latar belakang dikeluarkannya kebijakan ini adalah, pendapatan pemerintah dari sektor perpajakan tergolong rendah. Ini disebabkan karena tarif pajak yang tinggi, serta inflasi yang terus meningkat setiap tahun, membuat masyarakat saat itu enggan membayar pajak. Selain itu, sistem perpajakan Indonesia saat itu tergolong rumit.

Sebelum menjalankan kebijakan ini, pemerintah melalui Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) pada 1962 sudah memberikan kelonggaran perpajakan. Kelonggaran yang dimaksud ini tertuang dalam Instruksi Presiden No. Instr.2/KOTOE dan No. Instr.6/KOTOE, yang intinya membebaskan modal yang disalurkan ke usaha-usaha produktif dari tuntutan pajak.

Namun, dua tahun berjalan kebijakan pelonggaran ini terbukti kurang efektif, sehingga muncul kebijakan pengampunan pajak. Saat itu, pemerintah menetapkan 17 Agustus 1965 sebagai tenggat waktu pelaksanaan program pengampunan pajak, yang kemudian diperpanjang menjadi 30 November 1965.

Karena baru pertama kali dilakukan, dan belum ada perkiraan definitif, pemerintah saat itu mematok target penghimpunan dana sebesar Rp 50 miliar dari kebijakan ini. Sementara, besar tebusan ditetapkan sebesar 5-10% dari modal yang mendapatkan pengampunan.

Awalnya kebijakan ini berjalan lambat, karena kurangnya sosialisasi dan perbedaan penafsiran di antara petugas pajak, plus diwarnai "huru-hara" politik 1965. Namun, kebijakan pengampunan pajak yang pertama kali dijalankan ini tergolong sukses.

Merujuk pada Undang-undang (UU) No.12/1966 tentang Penetapan Anggaran Induk Beserta Tambahan dan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1965, realisasi pengampunan pajak tercatat mencapai Rp 121.562.638.000. Artinya, realisasi ini jauh melampaui target yang ditetapkan.

Keberhasilan program pengampunan pajak yang baru pertama kali dilakukan ini tercapai berkat kesadaran masyarakat, serta adanya intensifikasi pemungutan. Plus, karena pemerintah memutuskan memundurkan tenggat waktu pengampunan pajak.

Selain itu, kebijakan pengampunan pajak juga berhasil melampaui target berkat kebijakan penyesuaian tarif pajak serta batas minimum kena pajak terhadap tingkat inflasi.

Tax amnesty
Tax amnesty (Arief Kamaludin (Katadata))

2. Pengampunan Pajak 1984

Pengampunan pajak kedua yang dijalankan Indonesia adalah pada 1984, saat masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pengampunan pajak kedua ini dijalankan setahun setelah Indonesia menerapkan Reformasi Perpajakan 1983.

Latar belakang pelaksanaan pengampunan pajak pada 1984 adalah, karena pemerintah saat itu mengalami kesulitan pemasukan akibat penurunan harga minyak yang drastis, disertai penurunan produksi.

Penurunan harga minyak secara drastis jelas memukul Indonesia, karena sejak pertengahan 1970-an sekitar 70% pendapatan negara disumbang sektor minyak dan gas (migas). Menipisnya cadangan minyak serta penurunan harga ini berimplikasi negatif terhadap pendapatan negara.

Menteri Keuangan yang saat itu dijabat oleh Radius Prawiro kemudian mencari alternatif sumber pendapatan, salah satunya dari perpajakan. Namun, sektor perpajakan saat itu tidak bisa terlalu diharapkan.

Sebab, pengumpulan pajak masih terlampau sedikit karena masyarakat masih enggan membayar. Akibatnya, realisasi pengumpulan pajak selalu di bawah target. Oleh karena itu, pemerintah sejak awal 1980 telah memikirkan terobosan untuk mendorong penerimaan perpajakan. Inilah yang melandasi berbagai reformasi pajak yang dimulai 1983.

Reformasi perpajakan 1983 ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau UU KUP, yang menjadi landasan peraturan perpajakan hingga saat ini. Diikuti dengan UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan, serta UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah.

Reformasi perpajakan dirasa perlu, karena sebelumnya sistem perpajakan Indonesia mengenal 48 tarif pajak perorangan dan sepuluh tarif bagi badan hukum. Regulasinya juga terlalu banyak dan terkadang saling bertentangan.

Setelah itu, pemerintah mengeluarkan dasar hukum pengampunan pajak, yakni Keputusan Presiden (Keppres) No. 26/1984 tentang Pengampunan Pajak. Kebijakan ini dijalankan mulai 18 April 1984 sampai 30 Juni 1985.

Secara umum, penerapan pengampunan pajak 1984 memiliki beberapa latar belakang, antara lain:

  • Diberlakukannya sistem perpajakan yang baru yang berbasis self assesment. Oleh karena itu, Pemerintah mengharapkan peningkatan peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
  • Diperlukan adanya pangkal tolak yang bersih berdasarkan kejujuran dan keterbukaan dari masyarakat. Namun, keinginan wajib pajak untuk membuka diri tampaknya masih diliputi oleh keraguan akibat hukum yang mungkin timbul.
  • Diperlukan dukungan sepenuhnya dari masyarakat, baik yang telah terdaftar maupun yang selama ini belum memunculkan diri sebagai wajib pajak.

Pengampunan pajak 1984 memiliki bentuk yang sama dengan pengampunan pajak 1964, yaitu investigation amnesty. Pengampunan pajak yang dijalankan pada 1984 memungkinkan wajib pajak bebas dari pengusutan fiskal dan laporan tentang kekayaan.

Artinya, pengampunan pajak tidak akan dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun terhadap Wajib Pajak. Selain itu, mekanisme untuk mendapatkan pengampunan mengharuskan wajib pajak untuk membayar sejumlah uang tebusan.

Mengutip studi yang dipublikasikan oleh Tim Edukasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), selama masa pemberlakuannya, pengampunan pajak 1984 diikuti oleh 182.114 wajib pajak orang pribadi dan 22.748 wajib pajak badan.

Meski demikian, pengampunan pajak 1984 dinilai kurang efektif, karena hanya mampu mengumpulkan uang tebusan sekitar Rp 67,8 miliar. Ini berasal dari 45,6 miliar dari wajib pajak orang pribadi dan Rp 22,2 miliar dari wajib pajak badan.

Dikatakan kurang efektif, karena hasil uang tebusan yang dikumpulkan ini hanya berkontribusi sebesar 1,02% terhadap penerimaan negara saat itu, yang mencapai Rp 6.616,9 miliar. Padahal, pengampunan sudah dijalankan secara menyeluruh, dengan menyasar semua jenis pajak.

Kurang suksesnya pengampunan pajak 1984 disebabkan karena kurang gencarnya pemerintah melakukan sosialisasi. Selain itu, banyak wajib pajak saat itu masih "buta" terhadap pajak dan tidak mengetahui seluk beluk perpajakan.

Hal ini ditambah prosedur penghitungan kekayaan untuk mengitung uang tebusan yang relatif sulit dan rumit. Hal tersebut menyebabkan wajib pajak mengurungkan niat mengikuti program pengampunan pajak, meski telah mengambil formulir pengampunan pajak, SPT Pajak Pendapatan 1983 dan SPT Pajak Kekayaan 1984.

Tax Amnesty
Tax Amnesty (ARIEF KAMALUDIN | KATADATA)

3. Sunset Policy (2008)

Bentuk pengampunan pajak lain yang dijalankan Indonesia adalah kemunculan Sunset Policy pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dijalankan pada 1 Januari-31 Desember 2008. Program ini kemudian diperpanjang hingga 28 Februari 2009.

Mengutip ortax.org, Sunset Policy merupakan kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga. Kebijakan ini memiliki dasar hukum Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, yang merupakan perubahan ketiga UU KUP.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...