Wisma BCA Foresta dan Peluang Besar Bisnis Energi Hijau RI

Syahrizal Sidik
21 Juni 2022, 13:48
Wisma BCA Foresta menjadi gedung BCA pertama yang menerapkan konsep green building
Katadata/Syahrizal Sidik
Wisma BCA Foresta menjadi gedung BCA pertama yang menerapkan konsep green building

Setali tiga uang, berdasarkan catatan OJK, pembiayaan hijau oleh industri perbankan hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 809,75 triliun. Jumlah ini mengambil porsi 14 % dari total kredit perbankan yang mencapai Rp 5.768,58 triliun. Meski jumlahnya cukup besar, masih ada sejumput tantangan dalam pembiayaan hijau di Indonesia.

Tantangan itu, menurut Ketua Bidang Hukum Perbanas Fransiska Oei antara lain, proyek renewable energy rata-rata memiliki kebutuhan pembiayaan dengan jangka waktu yang panjang.

Selanjutnya, kebanyakan nilai investasi EBT mahal atau nilainya besar dengan risiko yang besar pula. Misalnya, pembangkit listrik geothermal, biaya proyeknya cukup tinggi tetapi tidak pasti keadaannya misal terjadi bencana alam.

"Jadi, sudah kreditnya mahal, butuh tenor lama, dan risikonya tinggi. Di sisi lain, debiturnya juga masih terbatas," ungkapnya, dalam wawancara dengan Katadata.co.id.

Potensi Besar Bisnis Energi Berkelanjutan di Indonesia

Di balik risikonya yang besar, sektor energi terbarukan ke depan akan menjadi tren di dunia dan memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional.

Seperti dinukil dalam buku Menuju Zaman Renewable Energy (2022:9) yang ditulis Cyrillus Harinowo bersama Ika Maya Khaidir, disebutkan, dampak perkembangan bisnis renewable energy diperkirakan akan sangat besar.

Indikasinya sudah terlihat dari ekspor besi dan baja yang sudah melampaui ekspor minyak dan gas dengan andil sebesar US$ 21 miliar. Sedangkan, ekspor migas hanya mencapai US$ 12 miliar. Ekspor besi dan baja ini utamanya dikontribusi dari pabrik nikel pig iron, pabrik feronikel, pabrik baja karbon, pabrik baja nirkarat yang banyak dibangun di Morowali, Konawe, Halmahera dan Pulau Obi.

"Kekayaan pabrik nikel di Tanah Air membuat Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam percaturan supply chain mobil maupun Energy Storage System secara global," tulis Cyirillus.

Dia juga membeberkan, khusus mengenai mobil listrik perkembangannya sudah menjadi suatu keharusan dan menjadi tren dunia. Inggris sudah mendeklarasikan tidak lagi menjual kendaraan berbahan bakar bensin pada 2030, sedang Norwegia sudah melarang penggunaan mobil berbahan bakar fosil pada 2025. Saat ini, negara di Semenangjung barat Skandinavia itu telah menjual lebih dari 90% mobil listrik.

"Mobil listrik tidak lagi fesyen, tapi mandatory, suatu keharusan. Kita akan bergeser ke sana," terangnya.

Selain itu, kata dia, Indonesia juga relatif diuntungkan karena memiliki ekosistem mobil listrik terintegrasi mulai dari hulu ke hilir dengan memiliki pabrik mobil listrik pertama yang dibangun Hyundai di Cikarang dan terbaru, Presiden Jokowi meresmikan pabrik bahan baku baterai di Kawasan Industri Batang. 

Berkaitan dengan era perubahan menuju era kendaaran ramah lingkungan yang akan terjadi ke depan itu, kita tentu mengingat apa yang dikatakan oleh aktivis lngkungan Swedia, Greta Thunberg. Dia mengatakan, “change is coming, whether you like it or not.” Ya, perubahan menuju transisi energi bersih akan segera datang.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...