Sri Mulyani: UU HPP Tambah Penerimaan Perpajakan Rp 139 T Tahun Depan
Keberadaan sistem perpajakan baru itu dinilai akan lebih menguntungkan bagi pemerintah, karena lebih terintegrasi.
Namun ekonom menilai bahwa sejumlah ketentuan, terutama kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak akan signifikan mengerek penerimaan. Dalam UU HPP, Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 11% tahun depan dan 12% pada 2025.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, PPN menyumbang lebih dari sepertiga penerimaan perpajakan setiap tahun. Kenaikan tarif pajak dinilai tidak menjamin penerimaan negara terdongkrak.
Sebab, efektivitas penerimaan PPN tak selalu bergantung pada besar kecilnya tarif. "Ini juga bagaimana penguatan basis penerimaan PPN itu sendiri, ambang batasnya," kata Tauhid dalam Dikusi Publik Menakar Untung Rugi RUU HPP yang digelar INDEF, Rabu (6/10).
Tauhid membandingkan hubungan antara tarif PPN dengan porsinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Singapura, Filipina, Thailand dan Vietnam. Rinciannya sebagai berikut:
Negara | Tarif PPN | Porsi ke PDB |
Indonesia | 10% | 3,5% |
Filipina | 12% | 2,1% |
Vietnam | 10% | 6,2% |
Singapura | 7% | 2,2% |
Thailand | 7% | 3,9% |
Tauhid juga menyoroti ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang berlaku saat ini yakni Rp 4,8 miliar. Ini berarti, pengusaha yang omzetnya di bawah batas ini akan dibebaskan dari pemberlakuan PPN.
Kemudian dia membandingkan ambang batas di Indonesia yang hampir sama dengan Singapura. Sedangkan ekonomi Negeri Jiran ini dinilai cenderung lebih maju.
"Ini yang saya kira cukup menjadi trigger. Kenapa (porsi ke PDB) PPN di negara lain, terutama di Thailand itu jauh lebih tinggi meski tarifnya lebih rendah," kata Tauhid.