Krisis Energi, Dunia Hidupkan Kembali Proyek Pembangkit Listrik Nuklir
Krisis energi yang tengah melanda dunia saat ini mengembalikan minat sejumlah negara terhadap proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Negara-negara Eropa hingga Asia menyalakan kembali reaktor pembangkit nuklir mereka, dan menghidupkan lagi proyek yang tertunda pasca bencana nuklir Fukushima di Jepang pada 2011.
Pemerintah Amerika Serikat dan Badan Energi Internasional mengatakan bahwa tenaga nuklir sangat penting untuk mencapai target nol emisi karbon atau net zero emission 2050. Nuklir juga dapat memastikan keamanan energi di tengah lonjakan harga bahan bakar fosil yang salah satunya disebabkan gangguan pasokan akibat perang Rusia-Ukraina.
Alhasil, tenaga nuklir mungkin berada pada jalur kebangkitannya menuju zaman keemasannya pasca krisis minyak 1970-an yang melahirkan banyak proyek baru meski di tengah tentangan politisi dan aktivis lingkungan. Meskipun untuk membangkitkan kembali nuklir, masalah pendanaan dan keamanan harus diatasi terlebih dahulu.
“Jika harga bahan bakar fosil tetap tinggi 3-4 tahun ke depan, saya pikir itu dapat memicu zaman keemasan nuklir, terutama di Asia karena di situlah mereka paling sensitif terhadap harga dan yang paling membutuhkan,” kata kepala riset energi dan energi terbarukan Asia di Wood Mackenzie, Alex Whitworth, dikutip Reuters, Jumat (5/8).
“Sekitar 80% dari pertumbuhan permintaan listrik dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi di Asia mengingat kemerosotan ekonomi di Eropa dan AS,” kata Whitworth menambahkan.
Contohnya di Filipina. Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr. mempertimbangkan untuk menyalakan PLTN Bataan yang operasinya ditangguhkan sejak proyek tersebut selesai pada 1984, meskipun pembangunannya menghabiskan dana hingga US$ 2,3 miliar.
Pemerintah Filipina tengah mendiskusikan proposal untuk merehabilitasi pembangkit listrik nuklir Bataan di tengah krisis energi saat ini yang telah mendorong harga bahan bakar pembangkit listrik tradisional, yakni batu bara dan gas alam, ke rekor tertingginya.
Selain Filipina, Jepang dan Korea Selatan juga mempertimbangkan untuk menyalakan kembali reaktor nuklirnya, bahkan membangun pembangkit baru untuk mengatasi krisis energi di tengah tingginya harga bahan bakar dan tuntutan untuk mengurangi emisi karbon.
Vietnam juga tengah meninjau kembali dua proyek pembangkit nuklir yang ditangguhkan pada 2016 karena masalah keamanan dan keterbatasan anggaran.
Negara-negara Asia mendorong pembangunan pembangkit nuklir baru karena kawasan ini merupakan pusat manufaktur dunia saat ini dan membutuhkan listrik beban dasar untuk melengkapi energi terbarukan dan menggantikan bahan bakar fosil.
Sementara di Eropa, Inggris telah memberikan persetujuan pada Juli lalu untuk proyek nuklir baru keduanya dalam dua dekade terakhir. Diskusi pendanaan untuk proyek pembangkit nuklir Sizewell C tengah berlangsung dan keputusan akhir investasi ditargetkan pada 2023.
IEA mengatakan bahwa kapasitas nuklir global harus meningkat dua kali lipat pada 2050 untuk mencapai target dekarbonisasi 2050. Termasuk untuk mengisi daya kendaraan listrik, memproduksi bahan bakar non fosil seperti hidrogen dan amonia untuk memangkas emisi karbon industri.
Chairman Rolls Royce SMR Paul Stein mengatakan bahwa Singapura, Filipina, dan Jepang tengah membahas teknologi baru seperti reaktor modular kecil yang lebih murah dan dapat dibangun lebih cepat dibandingkan reaktor konvensional.
“Ekonomi negara timur jauh yang sangat terindustrialisasi juga sangat membutuhkan peningkatan pesat tenaga nuklir, seperti halnya industri Eropa dan Amerika, bahkan mungkin lebih,” ujar Stein.
“Biaya rata-rata listrik yang dihasilkan oleh PLTN konvensional selama masa pakainya kurang dari setengah dari pembangkit berbahan bakar gas dengan harga saat ini, dan berada dalam kisaran yang sama dengan tenaga batu bara,” kata Whitworth dari Wood Mackenzie.
Dia menyebut nuklir akan menyediakan sekitar 5% dari pasokan listrik Asia Pasifik dan ini diperkirakan akan meningkat menjadi 8% pada 2030, berdasarkan proyek-proyek yang telah diumumkan.
Desain reaktor Cina dan Rusia mendominasi proyek yang sedang dibangun sejak 2017 tetapi sanksi terhadap Moskow terkait perang di Ukraina telah menimbulkan pertanyaan tentang kelanjutan pembangkit yang dirancang Rusia. Finlandia telah membatalkan rencana untuk sebuah proyek oleh pemasok nuklir negara Rusia Rosatom.
Penundaan dan pembengkakan biaya dari tinjauan keselamatan tambahan setelah Fukushima dan pandemi Covid-19 juga telah mengganggu proyek. “Tingginya biaya awal reaktor dan kekhawatiran seputar pembuangan bahan bakar limbah dan masalah keamanan secara keseluruhan juga merupakan hambatan,“ kata pakar industri.
Anggaran untuk proyek Hinkley Point C utilitas Prancis EDF, yang sedang dibangun di Inggris, telah meningkat dan akan mulai menghasilkan satu dekade lebih lambat dari yang dijanjikan semula. EDF menyalahkan pandemi karena membatasi staf, sumber daya, dan rantai pasokan.
Di AS, dua reaktor di Plant Vogtle di Georgia dijadwalkan untuk dibuka pada 2023 setelah penundaan enam tahun yang menyebabkan biayanya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi US$ 30 miliar.
“Pengeluaran biaya yang sangat besar dan penundaan yang lama tentu telah menimbulkan kekhawatiran bagi siapa saja yang ingin membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas besar,” kata Timothy Fox, seorang analis di kelompok riset ClearView Energy Partners.
Pemerintah AS juga mengesahkan program senilai US$ 6 miliar untuk membantu pembangkit nuklir yang kesulitan pendanaan dan mendukung kebijakan tambahan untuk sektor ini.
Senat juga mengumumkan RUU yang dapat mendorong pembangunan reaktor nuklir canggih dan mencegah penutupan pembangkit tua. RUU tersebut berisi kredit pajak produksi untuk pembangkit nuklir yang ada untuk menghasilkan listrik "nol-emisi".
Di Eropa, hanya ada beberapa pembangkit listrik tenaga nuklir yang sedang dibangun tetapi Prancis memiliki rencana untuk membangun hingga 14 reaktor baru pada tahun 2050.
Uni Eropa melabeli investasi tenaga nuklir sebagai ramah iklim awal bulan ini juga diperkirakan akan mengeluarkan dana publik dan swasta untuk proyek-proyek baru.