Putusan MK Pijakan RUU Cipta Karya dan RUU Migas

A. Rinto Pudyantoro
Oleh A. Rinto Pudyantoro
18 Juni 2020, 11:00
Rinto Pudyantoro
Ilustrator: Betaria Sarulina
Foto udara Rig Offshore Sumur Tambakboyo-3 Saka Energi Indonesia di Blok Pangkah, Pantai Utara Jawa Timur, Rabu, (10/4/2019). Rig offshore tersebut digunakan untuk aktifitas eksplorasi di Blok Pangkah yang dikelola oleh kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) Saka Energi Indonesia.

Pada pertimbangan MK tersebut tegas bahwa model bisnis yang dianggap layak digunakan adalah model ijin dan konsesi. Model ini memberikan kemampuan Negara untuk melakukan kontrol. Selain MK menilai model ini berasaskan hukum publik.

Memang hal ini debatable. Sebab secara teori, model konsesi lebih liberal jika dibanding dengan model KKS. Sebab model KKS, terutama KKS dengan pola cost recovery, memungkinkan Pemerintah melalui BP Migas melakukan intervensi. Segala putusan bisnis yang dilakukan Perusahaan minyak wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah, baik langsung atau tidak langsung merlalui badan pelaksana.

Berdasarkan KKS Pemerintah yang menyetujui POD. Dengan kata lain pemerintah yang menentukan go or-no go dari sebuh proyek. Pemerintah melalui badan pelaksana memiliki kewenangan untuk menginterview pemilihan vice president di perusahaan minyak, menentukan RPTK (Rencana Penempatan Tenaga Kerja - Asing dan Nasional), dan lain sebagainya. Manajemen badan pelaksana bisa mikro atau makro tergantung kebutuhan.

Sementara model ijin atau konsesi layaknya bisnis biasa. Setiap perusahaan memiliki pertimbangan dan keputusannya sendiri tanpa bisa diintervensi oleh Pemerintah. Pengaturan makro yang berlaku umum dapat diatur dengan peraturan pemerintah. Namun, pemerintah tidak bisa masuk ke dalam kebijakan perusahaan.

Tetapi karena sudah menjadi putusan maka pertimbangan MK sah, wajib diikuti dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. RUU Karya Cipta wajib mempertimbangkan hal ini, demikian juga dengan RUU Migas.

(Baca: Pembahasan RUU Migas Tertunda, Iklim Investasi Bisa Makin Lesu)

Keempat, terkait efisiensi institusi. Salah satu alsan pembubaran BP Migas karena dinilai BP Migas berpotensi inefisiensi. Kutipan lengkapnya sebagai berikut: Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.

Lebih lanjut MK menambahkan, jikalau diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu tidak mengurangi keyakinan Mahkamah untuk memutuskan pengembalian pengelolaan sumber daya alam ke Pemerintah karena dengan adanya putusan Mahkamah ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan.

Walau terasa MK agak ragu saat menggunakan dalil potensial inefesiensi untuk menjastifikasi bahwa BP Migas tidak konstitusional. Namun kemudian MK memberikan ruang bagi tim perumus supaya mampu membentuk badan yang status dan posisinya tidak memberikan ruang terjadinya potensi tidak efesiensi.

(Baca: Pembentukan Lima Subholding Pertamina Menuai Pro dan Kontra)

Ambil Alih Lapangan Migas Blok Mahakam
Ilustrasi blok migas. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Catatan akhir

Pertimbangan MK untuk melakukan pengelolaan langsung atau pengelolaan peringkat 1 berarti seluruh kegiatan usaha hulu migas dilakukan sendiri. MK menginginkan negara berinvestasi, mengoperasikan lapangan migas sendiri yang berarti menjadi operator, melakukan eksplorasi dan ekploitasi. Walau tentu saja pemerintah dapat mempekerjakan perusahaan sebagai ‘buruh’. Praktek seperti ini biasa dilakukan dalam bisnis hulu migas. Perusahaan minyak yang bekerja untuk pemerintah diikat dalam bentuk kontrak jasa, lalu untuk jasa yang diberikan tersebut dibayar sejumlah fee. Sedangkan hasil migas yang dapat diangkat ke permukaan menjadi milik pemerintah 100%.

Hanya saja model ini mensyaratkan pemerintah memiliki modal yang cukup dan menanggung risiko bisnis. Termasuk risiko terhadap kehilangan 100% uang karena kegagalan eksplorasi.

Sepertinya MK berlandaskan pemahaman bahwa bisnis hulu migas selalu untung. Ekplorasi selalu berhasil. Eksploitasi dan penjualan migas tidak pernah rugi. Tidak dibahas dalam pertimbangan MK, bagaimana kalau eksplorasi dan eksploitasi gagal. Sebab layaknya bisnis tidak pernah ada yang menjamin selalu untung. Tim perumus UU nampaknya secara jeli sehingga UU mampu melahirkan badan yang dapat melakukan bisnis hulu migas, mengelola langsung lapangan migas, tanpa memungkinkan bisnis merugi.

(Baca: SKK Migas: Lifting Migas RI Telah Capai 90% dari Target APBN 2020)

Model KKS merupakan model yang tidak selaras dengan kemauan MK. Model pengelolaan migas yang harus dipakai adalah model ijin dan konsesi. Tentang hal ini, dicoba untuk diterjemahkan dalam konstruksi RUU Migas yaitu dengan alur, ijin pengelolaan akan diberikan kepada BUMN-K, kemudian BUMN-K akan berkontrak dengan perusahaan minyak menggunakan kontrak bagi produksi atau kontrak pembagian kotor.

Nampaknya pada tahap awal yaitu pemberian ijin kepada BUMN secara legalitas mengikuti pertimbangan MK. Namun tatkala terdapat model kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk KKS bagi hasil dan KKS pembagian kotor maka secara substansi ada bagian negara yang harus diberikan kepada perusahaan pihak lain. Menurut MK hal demikian sifatnya sementara. Oleh karena itu perlu ditegaskan pemahaman seperti ini dalam RUU.

Berkenaan dengan pertimbangan MK bahwa harus tidak ada pemisahan antara pembuat regulasi dengan pelaksana, nampaknya akan menjadi tantangan berat bagi tim perumus. Sangat sulit bahkan tidak mungkin mengusulkan pembentuk BUMN-K yang hanya dapat bertindak sebagai pelaksana. Sehingga sebenarnya satu-satunya cara adalah pemerintah sebagai regulator juga menjalankan eksplorasi dan eksploitasi.

(Baca: Imbas Pandemi, Dua Proyek Hulu Migas Akan Mundur Tiga Bulan)

Kemudian tentang prinsip pengelolaan secara bundling, secara prinsip tidak terlalu menjadi isu, hanya saja BUMN-K nantinya akan menjadi organisasi yang ‘bongsor’ karena mengelola kegiatan hulu dan hilir migas sekaligus. Yang berarti menggabungkan fungsi SKK Migas dan BPH migas saat ini, ditambah dengan harus memiliki unit bisnis yang melakukan kegiatan hulu migas secara langsung.

Memang tidak mudah melaksanakan putusan MK secara penuh. Namun demikian, sekali lagi, putusan MK Nomor 36/PUU-X/201 harus tetap menjadi pijakan dalam penyusunan RUU Cipta Kerja dan RUU Migas khususnya terkait bisnis hulu migas.

Halaman:
A. Rinto Pudyantoro
A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...