Selain lebih lambat, distribusi bantuan sosial juga kerap menjadi tak tepat sasaran karena masalah data. Ombudsman Indonesia mencatat ada 1.052 aduan yang terkait masalah penyaluran bansos hingga Juni 2020.

Rata-rata laporan terkait bansos ialah bantuan yang tidak tersampaikan kepada penerima. Kemudian, ada juga bantuan sosial yang salah sasaran. Dalam kunjungan Komisi VIII DPR ke Provinsi Banten pada 30 Juni lalu, misalnya, ada pegawai Negeri Sipil hingga anggota dewan terdaftar sebagai penerima bansos.

“Kemudian ada orang kaya yang terdaftar. Meski hanya beberapa persen saja ini akan menganggu rasa keadilan masyarakat,” kata Ketua Komisi VIII DPR Yandri Sutanto, Selasa (30/6) melansir Antara.

Masalah lainnya adalah kurangnya transpransi informasi. Keterbukaan diperlukan terutama saat bantuan itu tidak disalurkan secara serentak untuk menghindari kecemburuan di antara penerima.

Momentum Perbaikan Data

Sistem penetapan sasaran saat ini didasarkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang baru mencakup 38 % penduduk. Sedangkan, jaring pengaman sosial dalam pandemi Covid-19 ditujukan untuk 40 % populasi dengan pendapatan terendah.

Sebagai perbandingan, Pakistan, Republik Dominika, dan Filipina merupakan tiga negara dengan basis data penetapan sasaran bantuan sosial terbesar. Masing-masing negara memiliki cakupan data 87, 85, dan 75 % dari jumlah penduduknya.

Masalah lain, data milik pemerintah saat ini merupakan hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015. Sedangkan, pembaharuan data penerima bantuan seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui koordinasi dengan Kementerian Sosial.

“Nah, tidak semua Pemda melakukan updating sampai kemudian terjadi Covid-19 di 2020 yang membutuhkan data lebih baru,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Webinar Gotong Royong Jaga UMKM Indonesia yang diselenggarakan Katadata.co.id, Selasa (11/8).

Namun, karena dampak ekonomi pandemi Covid-19 begitu besar, pemerintah tak bisa menunggu penyempurnaan data penerima bantuan untuk menyalurkan bansos. “Makanya dilakukan pembayaran dulu sambil ke bawah kami tambahkan lagi program sosial untuk bisa menyapu yang belum mendapatkan,” ujarnya.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam risetnya menyebutkan, pemerintah perlu memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk memperkuat data kependudukan. Penerima bantuan sosial, baik yang menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) maupun di luar itu, seperti peserta program kartu prakerja harus tercatat dengan baik. Data ini kemudian harus diverifikasi secara berkala.

Hingga 7 Agustus, pemerintah telah menyalurkan program perlindungan sosial mencapai 41,93% dari total anggaran sebesar Rp 203,9 triliun. Di antaranya, ada untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Program kartu sembako, hingga BLT Dana Desa.

Tabel: Perubahan Program Bantuan Sosial Sebelum dan Sesudah Covid-19, 2020

ProgramKomponenSebelum PandemiSetelah Pandemi
Program Keluarga Harapan (PKH)SasaranPeriode PenyaluranAlokasi Anggaran9,2 Juta KeluargaTriwulananRp 29,1 Triliun10 Juta KeluargaBulananRp 37,4 Triliun
Program Sembako (BPNT)SasaranNilai ManfaatAlokasi Anggaran15,2 Juta KeluargaRp 150.000/BulanRp 27,4 Triliun20 Juta KeluargaRp 200.000/BulanRp 43,6 Triliun
Tarif Listrik450VA: 24 juta pelanggan900VA: 7 juta pelangganBersubsidiBersubsidiGratisGratis
Insentif PerumahanSubsidi Uang MukaSubsidi Bunga150.000 Unit677.000 UnitRp 4 juta/unit (+175.000 unit)Selisih Bunga 5% Bank Pelaksana 6-7% (+175.000 unit)
Program PrakerjaTarget PenerimaInsentif PelatihanInsentif Pasca Pelatihan---- 5,6 juta orangRp 1 JutaRp 600 ribu x 3 bulan
Program Lainnya (dalam pembahasan)Alokasi Anggaran-Rp 20 Triliun

Sumber: Kementerian Keuangan (Bahan Rapat Terbatas 7 April 2020)

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement