Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menyatakan Rusia seharusnya dikeluarkan dari G20. Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen, dalam pertemuan dengan Komite Layanan Finansial Amerika pada Rabu, 6 April lalu, bahkan menyebutkan negaranya akan memboikot pertemuan G20 jika Rusia hadir. “Saya sudah menjelaskan kepada para kolega di Indonesia bahwa kami tidak akan berpartisipasi pada sejumlah pertemuan jika ada Rusia di sana,” katanya seperti dilaporkan CNN.

Belakangan muncul klarifikasi dari Kementerian Keuangan Amerika bahwa agenda G20 dalam pernyataan Yellen itu mengacu pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang akan digelar di Washington D.C. pada 20 April mendatang.

Juru Bicara Presidensi G20 Indonesia, Maudy Ayunda, sama sekali tak merespons berondongan pertanyaan dari awak media terkait pernyataan boikot AS di G20 dalam konferensi pers daring perdananya pada Kamis, 7 April, lalu. Alih-alih berbicara tentang perkembangan isu menyangkut anggota G20, Maudy malah membahas alasan dan kesannya setelah dia ditunjuk menjadi juru bicara Presidensi G20 Indonesia.

Invasi Rusia ke Ukraina memang membuat panggung politik dunia terpolarisasi lebih ekstrem. Amerika dan para sekutunya di Eropa dan NATO terus bergerak menentang Rusia. Selain dukungan politik, mereka mengerahkan bantuan finansial, medis, dan militer ke Ukraina.

UKRAINE-CRISIS/BORODYANKA
Warga Borodyanka, Ukraina, di antara bangunan yang rusak akibat invasi militer Rusia. (ANTARA FOTO/REUTERS/Gleb Garanich/hp/sad.)

 

Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen datang ke Kyiv dan bertemu dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada 9 April lalu. Von der Leyen juga menyerahkan dokumen persyaratan menjadi anggota Uni Eropa kepada Zelensky. Hal ini semakin memperkuat indikasi Ukraina bisa bergabung dengan Uni Eropa—hal yang selama ini selalu ditentang keras oleh Rusia.

Di hari yang sama, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, juga bertemu dengan Zelensky di Kyiv dalam perjalanan rahasia menggunakan kereta. Johnson sempat berjalan-jalan berkeliling pusat kota Kyiv bersama Zelensky dan koleganya. Seusai pertemuan itu, Johnson menjanjikan Inggris akan mengirim 120 kendaraan lapis baja, sistem misil anti-kapal ke Ukraina sebagai bagian dari paket bantuan militer senilai 100 juta pound.

Sementara itu, sejumlah negara dengan kekuatan politik dan ekonomi besar, seperti Cina, Brasil, India, memilih tak ikut campur. Cina dan India memutuskan abstain dalam voting untuk meloloskan resolusi PBB yang mengecam agresi Rusia. “Mereka sebetulnya juga tak mendukung invasi Putin, tapi memilih tetap menjaga jarak,” kata Muhadi.

Mendorong Kemandirian Politik Luar Negeri Indonesia

Meski desakan untuk mendepak Rusia dari G20 terus menyeruak, Indonesia bergeming. Faizasyah menyebut Indonesia tetap bertanggung jawab menjalankan presidensi G20. “Termasuk memastikan dan mengirimkan undangan ke seluruh anggota G20,” ujarnya.

Peluang Indonesia melobi sebenarnya juga kian terbuka dengan rencana pertemuan antara Amerika dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Asean) pada Mei mendatang. Presiden Jokowi dan Biden dikabarkan bakal menghadiri hajatan tersebut. “Semoga itu betul terjadi karena tidak mudah menetapkan jadwal 10 kepala negara Asean dan Presiden Biden,” kata Faizasyah.

Sebagai penyelenggara G20, menurut Muhadi, tugas Indonesia memang mengundang seluruh anggota termasuk Rusia ke konferensi. Indonesia tidak perlu ambil pusing dengan desakan untuk ikut mengucilkan Rusia di forum G20. Jika menghalangi apalagi membatalkan undangan ke Rusia artinya Indonesia malah gagal sebagai penyelenggara forum. “Amerika bukan ketua G20, tidak bisa menekan Indonesia,” ujar Muhadi.

Menjalankan Presidensi G20 membuat Indonesia mendapatkan privilese menyusun agenda khusus dalam konferensi sesuai kepentingan negara. Namun, menurut Muhadi, status ini tidak terlalu istimewa karena negara lain juga punya kalau mendapat giliran presidensi,” kata Muhadi. “Yang terpenting justru ada pada kepemimpinan, kemandirian politik luar negeri, dan sejauh mana politik bebas aktif Indonesia bisa diterapkan,” tuturnya.

Sebelumnya, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, sudah memberikan sinyal bahwa Presiden Putin akan datang ke G20. Hal itu disampaikannya dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (23/3) lalu. Meski demikian, menurut Vorobieva, kepastian kehadiran Putin juga ditentukan oleh berbagai hal, termasuk situasi pandemi Covid-19.

Rusia merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Kedua negara menjalin kerja sama di berbagai sektor. Laporan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan nilai perdagangan Indonesia-Rusia pada 2021 mencapai US$ 2,75 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2016. Selama tiga dekade terakhir, menurut kantor berita Tass, Rusia telah mengekspor persenjataan ke Indonesia dengan nilai lebih dari US$ 2,5 miliar.

Hikmahanto mengatakan relasi baik Indonesia dan Rusia berisiko rusak jika sampai mengeluarkan Rusia dari forum G20. Kondisi ini bisa mempengaruhi beberapa sektor, terutama menyangkut penyediaan suku cadang pesawat tempur dan bahan bakar minyak. Kondisi kian kompleks jika permasalahan geopolitik berimbas ke pembahasan perekonomian dunia di G20. “Jangan dijadikan medan untuk melanjutkan upaya menjatuhkan Putin sebagai Presiden Rusia,” katanya.

Sikap Indonesia yang tetap mengakomodasi Rusia di G20 tentu memiliki konsekuensi, salah satunya tekanan dari Amerika dan sekutunya akan meningkat. Dengan tetap mengundang Rusia, menurut Muhadi, Indonesia tak akan menghadapi masalah menghadapi anggota-anggota G20 seperti Cina, India, Brasil, dan Arab Saudi yang selama ini memilih tak ikut campur terlalu dalam dalam krisis di Ukraina.

Muhadi menilai ada peluang forum G20 gagal digelar ketika Amerika dan sekutunya serius melakukan boikot. Karena itulah, kemampuan Indonesia membujuk negara-negara itu agar tetap mau hadir dalam forum yang sama dengan Rusia menjadi sangat penting. Apalagi G20 adalah organisasi yang dibuat untuk mengatasi persoalan dan bersifat inklusif.

Sekalipun G20 betul-betul gagal, Muhadi mengatakan itu bukan kesalahan Indonesia. Forum itulah yang harus menanggung tanggung jawab. “Toh, Indonesia sudah mengerjakan tugasnya sesuai dengan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif dan mandiri,” katanya.

Halaman:
Reporter: Ashri Fadilla
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement